Kekerasan Atas Nama Agama

Konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin menjadi kerdil oleh kepicikan cara berpikir pemeluknya yang merasa bahwa pemahaman dialah yang paling benar, serta berpikir bahwa dia mendapat mandat dari Tuhan untuk memaksakan pemahaman tersebut dengan cara-cara yang oleh Tuhan pun muak melihatnya.

Tidak bisa kita mungkiri, bahwa selama transisi menuju millenium III ini, agama-agama tidak hanya muncul sebagai bidang besar etika global, tetapi juga sebagai pengacau besar bagi perdamaian dunia. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, maka akan banyak ditemukan praktik kekerasan atas nama agama atau disebut kemudian sebagai “kekerasan suci,” hampir pada semua agama. Dapat dikatakan bahwa kekerasan suci merupakan bagian dari budaya agama-agama besar di dunia. Perang suci Heraclius pada tahun 620M, perang agama pada abad 16 dengan munculnya Protestan, hingga perang salib adalah bagian dari sejarah agama Nasrani. Sampai saat ini, Christian identity movement (gerakan identitas Kristen) membenarkan penggunaan kekerasan yang dilakukan untuk menghukum orang yang menyimpang dari hukum Tuhan. Dua epik yang ada dalam agama Hindu, yaitu Mahabarata dan Ramayana, menceritakan bahwa Tuhan sendiri bereinkarnasi untuk berperang suci melawan setan di bumi. Sementara itu, sejarah perang suci pada agama Budha di Jepang dicontohkan dengan adanya ksatria monyet (buddist sohei) atau kodifikasi perang yang bersandar pada Budhisme yang disebut Bushido. Konflik Timur Tengah antara Israel dan Arab, Yahudi dan Muslim dalam lima peperangan yang sampai hari ini belum juga usai. Sungguh, sangat menggunung contoh-contoh kekejaman yang diinspirasi oleh agama untuk saling membenci dan memusuhi. Agamapun menjadi ilham dan legitimasi untuk setiap peperangan “atas nama Tuhan.”
Agama merupakan pedoman dasar untuk membuat manusia hidup teratur sesuai dengan yang diajarkan. Agama diklaim sebagai “kebenaran mutlak” karena dipercayai ajarannya bukan berasal dari manusia tetapi dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia melalui utusannya. Pada kenyataannya, agama yang dipeluk manusia di dunia ini lebih dari satu, maka kebenaran mutlak pun lebih dari satu. Dan konflik antar umat beragama yang berlangsung selama ini telah menelan korban yang tak terhitung jumlahnya. Akibat dari klaim masing-masing pihak sebagai pemilik tunggal kebenaran mutlak itu, menganggap yang lain tidak benar, harus tunduk padanya dan harus dimusnahkan.
Terjadinya kristal klaim kebenaran selalu muncul bersamaan dengan kegelisahan umat dalam menentukan pilihan. Keharusan untuk memilih antara yang samar-samar, agak benar dan pasti benar dalam agama, sehingga memaksa para pemeluk untuk menentukan sendiri suatu kebenaran. Pilihan ini terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat transendental. Misalnya, kepastian tentang benar tidaknya suatu bentuk prosesi peribadatan. Kebanyakan memiliki selera yang berbeda sesuai dengan warna keyakinan masing-masing kelompok komunitas pemeluk. Konsekuensinya, muncul berbagai macam interpretasi dengan beragam nilai kebenaran. Masalah yang muncul kemudian adalah keengganan untuk menerima perbedaan persepsi. Dan parahnya lagi masalah seperti ini tidak hanya terjadi pada satu agama, tetapi juga pada agama-agama besar dunia lainnya.
Sepanjang sejarah dan lintas budaya, kekerasan suci dimaafkan dan dianggap penting berdasarkan prinsip-prinsip agama pelaku. Penganut agama secara serius dihadapkan pada paradoks dari penganut yang menganggap kekerasan suci sebagai kewajiban suci. Penggunaan kekerasan suci selalu dapat dibenarkan bila dilakukan dalam rangka menghukum pelanggar hukum Tuhan. Kejahatan yang bertujuan untuk penyucian selalu dapat dibenarkan. kelompok Islam fundamentalis melakukan pembenaran melalui interpretasi ideologi jihad yang merupakan sebuah aliran (genre) yang sangat populer dalam dunia Islam. Individu yang memiliki jihad tinggi, akan mendukung kekerasan suci sehingga kata jihad akan berpengaruh langsung terhadap kekerasan suci.
Pengertian jihad sendiri masih diperdebatkan, sehingga belum ditemukan pengertian tunggal. Istilah jihad berasal dari kata Arab jahada (kata benda abstrak, juhd) yang bermakna berusaha dengan sekuat tenaga, berusaha dengan segenap hatinya. Distorsi makna jihad pada akhirnya menodai citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, juga menghantui umat sebagai kekuatan destruktif. Sehingga dewasa ini agama Islam sangat akrab dengan label ‘Islam teroris’.
Tidak dapat dibenarkan ketika sekelompok orang ataupun individu dengan dalih pembenar apapun melakukan aksi kekerasan yang bahkan menghilangkan nyawa orang lain seperti yang terjadi di Bima akhir-akhir ini yang konon alasannya ‘disuruh Tuhan.’
Sikap, pandangan bahkan keyakinan yang teguh untuk memosisikan bahwa tidak ada satu aliranpun dalam agama yang mutlak benar adalah sangat penting. Sebab aliran dalam agama merupakan usaha manusia yang hanya mampu mencapai garis kebenaran relatif. Oleh karena itu, masih terbuka peluang untuk dikritisi kembali. Hal ini merupakan perjuangan para pemeluk agama dalam meniti jalan panjang untuk menuju kepada-Nya.
Jika kemudian agama (Islam) ternodai oleh kepentingan yang dilakukan pihak-pihak tertentu, maka peran agama menjadi rapuh, dan tujuan bangsa yang tercermin dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-IV yang berbunyi ‘…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…’ kehilangan arah dan tak bermakna lagi sebagai sebuah konstitusi. Wallahu a’lam bishawab

Read More..
posted under | 0 Comments

Akhlak Solusi Kebangkitan Bangsa

Terkadang ketika akan berubah menjadi lebih baik, sebagian orang akan mencari dan menunggu moment terbaik untuk bangkit. Semoga momentum peringatan kemerdekaan 17 Agustus ditengah Ramadhan kemarin adalah titik awal untuk kita bangkit dan memperbaiki pribadi-pribadi yang mengarah pada perbaikan bangsa. Sebab merupakan realitas sosial bahwa bangsa Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia, konsekuensi logisnya adalah kaum muslim di negeri ini yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan dan ketidak-berhasilan bagi tegaknya negara Indonesia. Oleh sebab itu, secara kultural dan sosiologis pula mayoritas warga negara muslim sebagai representasi dari kewajiban membangun negara yang berperadaban.
Akan tetapi ditengah carut-marut masalah kebangsaan pada hari ini, kebanyakan kita melupakan kiprah dalam memperbaiki pendidikan, ekonomi dan agenda-agenda kultural umat yang masih terlantar. Karena seringkali pikiran kita tersedot oleh masalah ecek-ecek yang diciptakan oleh para elit penguasa. Tanpa disadari, kita sekarang berada dalam lingkaran yang tidak bermoral (the spiral immorality). Pikiran dan aktifitas kita terlalu sibuk mencari solusi untuk keluar dari masalah-masalah tersebut. Padahal sesungguhnya dengan melihat kompleksitas masalah yang ramai dibahas sekarang, dapat ditarik benang merah yang menjadi satu titik dasar penyebab timbulnya masalah-masalah tersebut, yaitu degradasi moral atau kemerosotan akhlak.
Dan yang paling berbahaya lagi, degradasi moral ini sangat rawan menjangkiti generasi muda. Tuna aksara moral (moral ilaterasi) seperti yang diistilahkan oleh Din Syamsuddin, cukup serius melanda umat khususnya generasi muda dan kaum terdidik. Tidak mampu membaca, mencerna dan mengaplikasikan nilai dan ajaran akhlak yang terselip dalam budaya masyarakat kita. Betapa tidak, budaya masyarakat kita yang sarat dengan nilai moral dan akhlak gagal dimanifestasikan ditengah modernitas. Sehingga menjadikan generasi muda semakin jauh dan melupakan nilai akhlak itu sendiri.
Jika melihat kembali pada sirah nabawiyah, sesungguhnya pada masa awal kehadiran Nabi Muhammad SAW, misi pertama yang dilakukan adalah menyelamatkan manusia dari kejahiliyahan yang sangat menyesatkan dengan jalan memperbaiki akhlak, “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia” (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad). Mencermati hal ini, memperbaiki akhlak manusia tidak hanya berhenti pada masa Nabi dan para sahabat, tetapi misi kenabian itu akan terus berjalan dan tetap eksis meski ditengah masyarakat yang semakin dinamis.
Sebagai masyarakat muslim, sudah seharusnya kita memanifestasikan nilai-nilai etika dan moral islami sebagai sebuah nilai dasar (bottom line values), untuk kemudian diinternalisasikan kedalam kehidupan sosial dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar, menuju pemberdayaan masyarakat secara material, rasional dan spiritual. Karena ajaran Islam sangat memperhatikan masalah akhlak. Sebab, kehancuran suatu bangsa sangat ditentukan oleh baik dan buruknya akhlak bangsa yang bersangkutan.
Menerapkan nilai akhlak dalam kehidupan itu sangat penting untuk meminimalisir degradasi moral generasi, dengan tidak menyampingkan akidah dan ibadah sebagai nilai fundamental. Sebab, akidah ibarat akar yang menancap kuat di dalam tanah dan ibadah adalah pohon yang kuat dan kokoh, sedangkan akhlak adalah buahnya. Meskipun pada kenyataanya, tidak sedikit kita menemukan pohon yang besar lagi kokoh, tetapi tidak berbuah samasekali.
Kepada generasi muda, penulis pribadi merasa perlu menggugat dan mempertanyakan komitmen keislaman kita. Jika tidak ada konkritasi agama dalam kehidupan yang nyata, dapat dikatakan agama hanya bersifat statusquo, Islam yang jumud dan samasekali tidak mengarah pada Islam yang berkualitas dan reformatif.
Tuna aksara moral yang menggerus generasi muda dapat diatasi dengan mengkristalkan nilai akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang saatnya untuk membuktikan bahwa generasi muda memiliki sifat antusiasme untuk merubah kondisi kenegaraan yang masih berada di bawah menjadi lebih baik, dengan memperbaiki moral kita terlebih dahulu. Kesadaran dalam hal ini sangat penting, meskipun terbangun dalam satu kelompok kecil yang minoritas, akan tetapi berkualitas dan bisa diharapkan menjadi pionir kebangkitan bangsa. Sebab jika generasi muda dan kaum terdidik telah rusak akhlaknya, maka kepada siapa lagi negeri ini berharap?!
Wallahu a’lam bishawab

Read More..
posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

    Translate


Recent Comments