Keadilan Sosial

Keadilan menjadi syarat mutlak dalam hubungan antar manusia, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Justice pada dasarnya merupakan domain dari ilmu filsafat. Justice pada dasarnya adalah good dan well (definisi klasik). Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu, tetapi disisi yang lain masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial.
Adapun definisi politis dari justice dibagi dua yaitu recognition dan existence. Recognition lebih mengarah kepada identitas, recognition ini dipakai oleh Barat khususnya Amerika dalam membangun dasar tatanegaranya dan berpengaruh pada sistem pemerintahannya yang lebih mengarah pada sistem liberal. Kemudian existence mengedepankan benefit fullfilment, mengendepankan hak-hak kelompok daripada individu (kolektif right), hal ini diusung oleh China yang dikenal menggunakan idiologi sosialis komunis.
Menurut Jhon Rawls keadilan adalah fairness (Justice as Fairness). Ide fundamentalnya bukan klaim bahwa kontrak merupakan satu-satunya alternatif dalam membangun struktur masyarakat dan pemerintahan yang menjamin keadilan bagi segenap warganya, tetapi yang ingin dicapainya adalah konsensus mengenai prinsip-prinsip keadilan yang memberi jaminan keadilan bagi semua pihak. Cara pandang inilah yang disebut keadilan sebagai fairness.
Justice itu mengandung dua hal yaitu equity dan equality. Justice merupakan sebuah proses untuk mencapai equality, yaitu untuk mendapatkan kesempatan yang sama yaitu akses, partisipasi dan kontrol. Ketiga kesempatan ini adalah ukuran keadilan bagi agen-agen terkait, dalam hal ini yaitu; ras, etnis, agama, ekonomi, gender dan diffabelitas.
Titik tolak pembicaraan tentang keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Protes atas ketidakadilan terjadi karena orang merasa diabaikan hak-haknya. Orang senantiasa menuntut apa yang menjadi haknya. Kalau seseorang mendapatkan sesuatu sesuai dengan haknya orang merasa diperlakukan secara adil. Sebaliknya orang merasa diperlakukan dengan tidak adil kalau hak-haknya disabotase dan diperlakukan secara sewenang-wenang.
Pengabaian terhadap rasa keadilan masyarakat menjadi kenyataan lumrah dalam iklim kompetisi ekonomi dan politik negara dewasa ini. Kelompok masyarakat yang paling dikorbankan adalah kelompok yang kurang beruntung dan kaum marginal. Mereka dikorbankan karena mereka tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dan tidak mempunyai kekuatan untuk membentengi diri dan hak mereka dari penjajahan dan penjarahan penguasa yang haus harta dan tahta. Hak-hak mereka banyak diabaikan dan suara mereka tidak didengarkan. Kebutuhan dan kepentingan mereka sering tidak terakomodasi dan tidak dijamin oleh para pembuat kebijakan. Pengabaian terhadap hak-hak masyarakat kecil merupakan suatu bentuk ketidakadilan karena mereka tidak mendapatkan hak-hak mereka .
Keadilan senantiasa menjadi persoalan dalam kehidupan bersama. Ia dipersoalkan karena berhubungan erat dengan hak dan kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap orang. Orang akan secara spontan memprotes kalau hak-haknya dipangkas dan memperoleh sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya ia dapat. Sebaliknya, orang merasa diperlakukan secara adil kalau ia menerima sesuai dengan haknya.
Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan, sehingga seluruh komponen dalam masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini, keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal yang lebih besar yang didapatkan orang lain. Ketika suatu pemerintahan mengabaikan hak-hak kaum minoritas demi kesejahteraan sosial, ini berarti tidak menghormati martabat manusia tersebut dan konsekuensinya adalah merusak gagasan justice dan Eequality.
wallahu a'lam bisshowab

Read More..
posted under | 0 Comments

islam dan pembentukan negara

Dalam sejarahnya, Islam tersebar ke dunia bukan hanya melalui dakwah, tetapi juga melalui perang fisik dan ekspansi militer menghadapi berbagai negara. Pada masa Rasulullah, bentuk negaranya belum bernama. Pada masa Abu Bakar as-Shiddiq hingga Ali Bin Abi Thalib, bentuk negaranya adalah khilafah yang jelas sekali warna keislamannya. Sedangkan pada masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbsyiah, bentuk negaranya adalah kerajaan meski namanya tetap khilafah dan kesultanan tetap dipergunakan meski sudah dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil.
Kenyataan sejarah itu menjadi dasar pandangan bahwa Islam adalah agama yang juga terkait erat dengan kenegaraan. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan ketika kaum Muslim sudah berkenalan dengan Aryanisme Persia, ada ungkapan populer yang berbunyi “al-Islam din wa daulah” bahwa Islam adalah agama dan negara, suatu ungkapan yang menunjukan betapa erat hubungan antara agama dan negara. Karena sejarah Islam juga sejarah kenegaraan, maka tak heran bahwa sepanjang sejarah -dari zaman Khulafaur Rasyidin hingga Turki Utsmani dan bahkan hingga sekarang- sejarah Islam juga mencatat adanya perpecahan politik laiknya dunia politik manapun. Bahkan konflik politik pun memberi kontribusi lahirnya mazhab teologi Islam, Jabariyah dan Qadariyah misalnya. Jadi, sejak awal kehadirannya Islam selalu bersentuhan dengan masalah kenegaraan, bahkan masalah politik secara luas.
Hingga kini belum ada kesepakatan pendapat mengenai konsep politik dalam Islam, seperti konsep “Negara Islam.” Tidak adanya konsep tentang Negara Islam menimbulkan berbagai interpretasi tentang Negara Islam. Negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad di Madinah memang dipandang sebagai bentuk ideal, tetapi hal itu terbatas pada ajaran yang ideal, belum sampai kepada suatu model baku dan terperinci yang dibutuhkan dalam pendirian sebuah negara modern.
Demikian juga periode Khulafaur Rasyidin, meski lebih dekat ke sistem republik, tetapi tidak berujung pada konsep yang disepakati. Model suksesi pada masa Khulafaur Rasyidin memang sangat menarik. Abu Bakar dipilih secara aklamasi sebagai khalifah pertama. Umar Bin Khattab diangkat melalui dekrit, Utsman Bin Affan dipilih melalui gabungan antara dekrit dan musyawarah seperti demokrasi perwakilan, sedangkan Ali dipilih secara aklamasi oleh penduduk Madinah saja. Empat model suksesi ini tidak sampai tersusun sebagai konsep baku sehingga pasca Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah maupun Bani Abbasyiah tidak menggunakan sistem itu, sebaliknya malah menerapkan sistem dinasti kerajaan yang mengadopsi budaya setempat (model Imperium Romawi dan Persia) meski warna Islam juga terpampang dipermukaan.
Terlepas dari kekurangannya, periode Abbasyiah dan Umayyah dikenal sebagai berlangsungnya Daulah Islamiyah, atau Pemerintahan Islam. Periode berikutnya muncul kerajaan-kerajaan kecil yang efektif berdiri sendiri-sendiri, meski nuansa Daulah Islamiyah tetap menjadi agenda. Turki Usmani pernah pula efektif memimpin Daulah Islamiyah. Runtuhnya Turki Utsmani sebagai pemerintahan model khilafah merupakan babak awal berdirinya negeri-negeri nasional Muslim atau Daulatul Muslimin. Dalam Daulah Islamiyah, kaum muslim hanya mengenal identitas keislaman. Sedangkan dalam Daulatul Muslimin, kaum Muslim disamping mengenal identitas keislaman juga identitas kebangsaan.
Republik Indonesia merupakan wujud Daulatul Muslimin, yakni sistem pemerintahan kaum Muslim Indonesia. Secara konsepsional, UUD 1945 merupakan kompromi antara aspirasi kalangan Islam yang menghendaki identitas Islam dimunculkan dalam perundangan yang mewajibkan kaum Muslim menjalankan syariat Islam (Piagam Jakarta), dengan aspirasi kelompok nasionalis –yang notabene juga banyak memeluk Islam–yang merasa keberatan jika keberagamaannya dicampuri oleh negara. kompromi itu tertuang dalam dekrit 5 Juli yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 1945. Atas dasar itu, semangat Piagam Jakarta tidak bisa dihalangi untuk muncul dalam bentuk perundangan, seperti lahirnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf dan perundangan lainnya yang dibutuhkan.
Indonesia adalah sebuah negara bangsa (nation state), artinya tidak didasarkan pada agama tertentu sebagai ideologi politik, tapi masyarakatnya multi-religius. Namun, walaupun negara tidak didasarkan pada agama, agama menjadi sumber inspirasi dalam kontitusinya, yaitu UUD 1945. Contoh yang peling jelas adalah pasal 34 yang mengacu pada surat Al-Ma’un yang sejalan dengan nalar publik yang tercermin dalam prinsip ketiga keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Rawls.
Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa agama berperan dan berpengaruh di ruang publik. Namun, pengaruh Islam itu dibatasi oleh prinsip-prinsip kebangsaan, yaitu dengan diterimanya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara (pasal 29 ayat 1 UUD 1945), tapi di lain pihak ditolak gagasan agar negara mewajibkan pemeluknya untuk menjalankan syari’at Islam, dengan alasan bahwa jika negara mewajibkan pemeluk Islam menjalankan syari’at Islam, maka hal itu akan bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinannya.

referensi:
Abdul Aziz (Chiefdom Madinah)
Abdullahi Ahmed An-Na'im (Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Right an International Law)
Masdar Hilmy (Islam profetik; Subtansi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang Publik)

Read More..
posted under | 2 Comments

agama di ruang publik

Agama (Islam) memang berkepentingan berperan di ruang publik. Namun, peranan agama di ruang publik ada batasnya dan memang perlu dibatasi, justru untuk memelihara prinsip yang paling dibutuhkan oleh agama, yaitu kebebasan (freedom).
Persoalan tentang peran agama di ruang publik politik adalah karena dalam sejarahnya, ketiga agama monoteis, yang disebut juga agama Abrahamik itu, yaitu Yahudi, Kristen maupun Islam, bahkan juga Hindu dan Budha, dalam memelihara eksistensi dan perkembanganmya, selalu mengakses dan bahkan membentuk sendiri kekuasaan negara. Sebagaimana juga suatu masyarakat selalu berlanjut dengan pembentukan negara. Padahal dalam pengalaman, ketika lembaga kekuasaan telah terbentuk atau seseorang telah menjadi raja atau kepala negara, maka negara justru membatasi bahkan memberangus kebebasan yang dibutuhkan oleh masyarakat, bahkan menindas masyarakat atau rakyat. Demikian pula, ketika agama telah didukung oleh suatu kekuasaan, maka negara justru membatasi kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kerpercayaannya itu atau melakukan diskriminasi dan pengingkaran hak-hak minoritas.
Dalam ruang sosial bersama, Muslim (atau penganut agama lain) tidak bisa serta merta menggunakan bahasa keagamaan eksklusifnya, tetapi mesti bekerja sedikit lebih keras dengan menerjemahkan itu ke dalam bahasa yang dipahami semua, dan yang tak mengandaikan keislaman sama sekali. Keyakinan keislaman di sini menjadi efektif bukan sebagai pembeda, tapi sebagai pemberi inspirasi yang ketika diterjemahkan dengan baik oleh Muslim, maka ia menjadi sesuatu yang bisa diterima seluas mungkin, dalam bahasa Islam “menjadi rahmat bagi semuanya.”
Oleh karena itu, keterbukaan ruang publik yang saat ini akan menguatkan pemahaman bahwa toleransi dan egalitarianisme merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan ruang publik yang terbuka ini. Untuk itu, dalam mempertahankan ruang publik yang bebas dan terbuka memang diperlukan etika sosial bersama juga ditopang oleh rule of law negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan multikulturalisme.
wallahu a'lam bishawab

Read More..
posted under | 0 Comments

Peran dan Damai dalam agama-agama

Jika dilihat lebih jauh lagi, sesungguhnya agama-agama besar di dunia ini terlihat paradoks. Disatu sisi kehadiran agama dianggap membawa kedamaian dan memiliki kandungan non-violent bagi kehidupan manusia, tetapi disisi lain teks keagamaan juga “membenarkan” untuk menebar kebencian dan peperangan.
Penyebaran agama juga berhubungan dengan penggunaan kekerasan. Jika kita menelaah agama-agama besar secara rinci, kita akan menemukan jejak yang sama. Teks-teks dasar mencerminkan kekerasan upacara pengorbanan, penggunaan kekerasan untuk tujuan yang lebih tinggi, dan perlunya kekerasan dalam mempertahankan agama. Bersamaan dengan regulasi etis akan kekerasan yang tidak legitimate, semuanya ditunjukan untuk mencapai perdamaian tertinggi.
Konsep jihad dalam Islam yang pemaknaannya hingga saat ini menjadi perdebatan merupakan sebuah legitimasi oleh sebagian kelompok dalam melakukan berbagai tindakan anarkis. Dalam idiologi Kristen, adapula konsep perang suci. Perang adalah keharusan selama setan –bisa berarti dalam bentuk manusia- dan sekutunya selalu mengganggu dan menajuhkan manusia dari kasih Tuhan. Demikian juga dalam ajaran Hindu. Perang untuk menumpas kejahatan telah diperagakan oleh para dewa-dewa yang turun langsung ke bumi.
Tidak hanya konsep tentang perang yang tercantum dalam kitab suci agama-agama dunia, tetapi ada juga konsep tentang perdamaian, bagaimana menciptakan perdamaian dan menjaga perdamaian. Seperti halnya Islam mengenal konsep rahmatan lil ‘alamin, Kristen dengan ajaran kasihnya dan Hindu dengan Ahimsanya. Akan tetapi penerapan konsep-konsep perdamaian ini tergerus oleh isu-isu kekerasan bernuansa SARA, sehingga agama terlihat tidak seimbang karena hanya dapat menciptakan kekacauan saja.
Agama pada dasarnya berfungsi integrative pemersatu bagi suatu komunitas masyarakat maupun bangsa tertentu. Tetapi ia juga bersifat disintegratif pemecah belah apabila tidak dikelola oleh para elit agama dan pemeluknya secara baik dan benar. Geertz menyatakan bahwa agama sebagai sebuah symbol yang berfungsi untuk membangun perasaan dan motivasi yang penuh kekuatan, pervasive dan tanpa akhir dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep ini dengan suatu aura faktualitas sehingga perasaan dan motivasi di atas secara unik nampak realistis.
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik diantara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Pada level eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.
Konsep perang dalam beberapa kitab suci agama-agama sepakat mengatakan bahwa perang itu dilakukan ketika ada ancaman dan untuk melindungi diri (difensif). Pemaknaan kasih sayang dan persaudaraan dalam ajaran dan idiologi agama dapat diterapkan untuk membangun perdamaian dalam kehidupan ditengah masyarakat yang plural. Oleh sebab itu, diperlukan usaha yang cukup intensif dari para tokoh agama untuk mewartakan lebih serius lagi tentang kasih sayang dalam idiologi agamanya masing-masing.
Alternatif meningkatkan kasih sayang dan persaudaraan hendaknya dianggap sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan kehidupan beragama yang damai di Indonesia. Persaudaraan atas dasar satu bangsa besar, merupakan tanggung jawab sebagai warga negara yang sama, sehingga meminimalisir terjadinya konflik yang berbau SARA. Baik Muslim/Kristiani/Hindu, dan lain-lain hendaknya pro-aktif dalam meningkatkan persaudaraan. Sebab kasih sayang dan persaudaraan akan melahirkan kerukunan hidup dan kesetiakawanan social, sehingga tercapai kehidupan yang selalu diselimuti oleh damai dan kasih Tuhan, kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin, Amin.
wallahu a'lam

referensi:
Ali Ashgar Al-Engineer, (Islam Masa Kini)
Abad Badruzaman, (Membangun Keshalehan Sosial)
Wim Beuken, dkk, (Agama Sebagai Sumber Kekerasan)
Jerald F Dirks, (Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru Antara Islam, Kristen, Yahudi)
Samuel P.Huntington, (Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia).

Read More..
posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

    Translate


Recent Comments