geliat gerakan keagamaan di indonesia

Kegagalan Indonesia membangun multikulturalisme sepertinya bertanggung jawab atas meletusnya konflik komunal berdarah di pelbagai kawasan Indonesia pasca-Soeharto. Minat negara mempertahankan legitimasinya dengan mempolitiasasi simbol-simbol agama ternyata membuat agama berfungsi sekedar sebagai alat kontrol sosial. Agama tidak memainkan peran memadai dalam memupuk kohesi sosial, yang merupakan keniscayaan ketika komposisi demografik dan keagamaan terus berubah dan berbagai isu baru menghadang perjalanan masyarakat. Dalam situasi transisional dan iklim refomasi yang menghadirkan euforia ketika itu, terjadi gelombang radikalisme Islam. Berbagai kelompok vigilante jalanan muncul kepermukaan melakukan aksi-aksi kolektif dan kekerasan atas nama jihad. Melengkapi kehadiran mereka, tuntutan-tuntutan terhadap penerapan syariah bergema semakin kencang di ruang publik Indonesia dan sebagiannya mengejewantah kedalam perda-perda bernuansa syariah yang mengingkari hak-hak minoritas.
Di era reformasi, gerakan Islam radikal mulai mendapat tempat untuk berkembang. Suasana politik yang makin terbuka dan kontrol aparat negara yang makin melemah membuat kelompok radikal semakin leluasa dalam menyuarakan aspirasi dan mengekspresikan gerakannya. Mereka mulai berani menggugat keabsahan Pancasila sebagai asas tunggal, juga tuntutan untuk menggunakan ajaran Islam melalui lembaga formal juga semakin meningkat. Munculnya berbagai gerakan Islam berkonotasi radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Jamaah Ansharut Tauhid dan berbagai gerakan keagamaan bercorak lokal adalah sebuah potret merebaknya gerakan keagamaan ditengah euforia keterbukaan, demokrasi dan hak asasi manusia. Fenomena munculnya gerakan baru Islam ini juga didukung oleh menguatnya wacana penerapan syariat Islam yang dibarengi oleh kebijakan pemerintah dengan otonomi daerah masa presiden Abdurrahman Wahid. Policy ini lebih memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur pemerintahnnya sendiri.
Kebanyakan isu yang diangkat kepermukaan oleh kelompok ini adalah responnya terhadap apapun yang datang dari Barat. Isu tentang salibisme, moralitas permissiveness, demokrasi dan bahkan hak asasi manusia adalah rekayasa Barat untuk meminimalisasikan peran dan pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat. Semua ide tentang konsep tersebut dikemas dengan modernisasi dan sekularisasi. Modernisasi mempunyai anak kandung kapitalisme dan materialisme. Kapitalisme merupakan proses akumulasi modal didasarkan atas konsep individualisme yang dianggap bertentangan dengan konsep Islam tentang sistem masyarakat. Sedangkan materialisme menganggap bahwa materi adalah segalanya juga sangat bertentangan secara diametral dengan Islam. Modernisasi dengan berbagai implikasinya membuat gerah para pemimpin Islam. Menurut beberapa kelompok Islam bahwa solusi untuk mengatasi berbagai masalah kemanusiaan, politik dan kebangsaan yaitu kembali kepada ajaran Islam berdasarkan pada amalan agama para shalafush shalih dan menegakkan syariat.

referensi:
- Abdul Muqsith, Merayakan Kebebasan Beragama
- Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad
- Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam
- Afadlal, dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia

Read More..
posted under | 0 Comments

Agama dan konsep dunia yang ideal

Tidak ada satu agama pun yang tidak memiliki konsepsi tentang tatanan dunia yang ideal dan sedekat mungkin sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam pemahaman demikian, kehidupan di dalam kosmos diandaikan sebagai realitas yang suci (divine reality) yang eksistensinya perlu dijaga, diamankan dan diperjuangkan. Konsepsi mengenai tatanan ideal itu dibangun melalui pemaknaan terhadap teks suci keagamaan dan dikembangkan pada anggota kelompok masing-masing dengan dengan anggapan kesahihan yang paling valid. Pada tahap bagaimana teks itu dimaknai dan diberi kekuatan itulah persoalan mulai terjadi.
Penulis meyakini bahwa dunia agama dibangun berdasarkan peradaban teks yang lahir dari upaya interpretasi-interpretasi. Pertarungan interpretasi ini yang kemudian menimbulkan ambivalensi dalam sejarah tradisi semua agama. Apa yang penulis maksud sebagai ambivalensi adalah munculnya dua hal kontradiktif pada waktu yang relatif bersamaan. Dalam konteks sejarah agama, perjuangan mempertahankan dan mengambangkan eksistensi, menunjukkan dua wajah sekaligus; yakni moderat dan radikal, pertikaian dan pengutamaan jalan damai. Kondisi tersebut terus tereproduksi dalam bangunan memori kolektif sejarah agama hingga hari ini. Keduanya saling “berebut tempat” dalam membentuk konsepsi moral dan tatanan kehidupan yang dianggap paling absah. Hal demikian tidak hanya terjadi antar agama yang berbeda, tapi juga di dalam satu tradisi agama yang sama.
Dalam kasus kekerasan terhadap warga muslim oleh warga hindu di India sekitar tahun 2002 misalnya, dijelaskan oleh Anantanand Rambachand sebagai menodai dan menyimpang dari ajaran ideal tradisi Hindu. Meski demikian, ia juga mengakui bahwa ajaran mengenai penggunaan kekerasan memang mendapatkan tempat dalam sejarah hindusime sejak berabad-abad yang lalu.(Dalam tradisi Hindu dikenal prinsip Daiva Pravritti yang mengajarkan tentang memaafkan kesalahan orang lain, menghilangkan kemarah (anger) dan kedengkian (malice), ajaran kedamaian dan non-kekerasan, dan pada saat yang sama mengizinkan penggunaan kekerasan pada kondisi-kondisi khusus. See Oliver Mc Ternan, Violence in God’s Name; Religion in an age of conflict).
alam tradisi Hindu, penggunaan kekerasan dibolehkan dalam dalam rangka mempertahankan diri dari segala bentuk repsentasi kekuatan “setan” dan ketidakadilan. Tradisi ini dibangun di atas konsepsi bahwa Tuhan (God) akan senantiasa “hadir” untuk menyelamatkan kaum lemah dari kekuatan belenggu ‘setan’ (evil).
Dalam Budhisme, terdapat ajaran-ajaran tentang menjunjung tinggi perdamaian dan pasifism (Konsepsi bahwa jalan damai harus senantiasa dipertahankan dalam segala kondisi, apapun resikonya.ajaran ini dapat ditemukan di salah satu kitab suci budha; Brahmajala-sutra).Pemahaman ini mengandaikan perjuangan dalam mempertahankan nilai-nilai ajaran budha tidak dapat dilakukan dengan mengorbankan manusia. Karena, hanya dengan menghormati nyawa manusialah sang Budha dapat hadir kembali dalam hati setiap individu. Tidak jadi soal apakah dengan prinsip itu eksistensi agama budha harus hilang dan demokrasi tidak dapat ditegakkan. Berlawanan dengan prinsip ini, dalam tradisi Budha Mahayana terdapat ajaran bahwa perdamaian haruslah dipromosikan dengan cara menghentikan setiap ketidakadilan, penderitaan dan penindasan. Upaya mewujudkan perdamaian tersebut dapat dilakukan dengan kekerasan. Hanya saja, penggunaan kekerasan tersebut harus benar-benar menuju pada target yang benar, hati-hati dan tidak membunuh orang-orang yang tak terlibat. Beberapa kalangan menilai alasan tersebut hanyalah sebagai alat justifikasi moral untuk mensahkan kekerasan.
Dalam Islam, diantara sekian banyak konsepsi makna yang dikembangkan untuk membangun dunianya ada term jihad. Di sepanjang sejarahnya, pergulatan pemaknaan atas term jihad terus menginspirasi wacana tentang tatanan dunia ideal islam. Di satu satu sisi, Jihad dimaknai sebagai sebagai upaya memenangkan kualitas-kualitas ilahiah dalam diri manusia atas kualitas-kualitas syaithaniah. Definisi banyak dianut dan dikembangkan oleh kaum muslim moderat dan sufi. Disisi lain, jihad dimaknai sebagai upaya menegakkan kebenaran di jalan allah dan pada saat tertentu berarti pengerahan kekuatan bersenjata atas tujuan mempertahankan diri.
Dalam perjalanannya, jihad seringkali diinterpretasi dengan cakupan makna yang lebih luas sekaligus rigid. Pra syarat Kondisi dimana jihad dengan menggunakan kekerasan dalam konteks mempertahankan diri dianggap perlu dan niscaya dirasionalisasikan sedemikian rupa. Apa yang disebut masa Jahiliyah oleh sayyid Quthb misalnya, adalah sistem sekuler yang ditanamkan oleh Barat terhadap negara-negara muslim, khususnya sejak masa-masa kolonialisme pada abad 17 dan 18. Dalam konteks dimana karakteristik masa Jahiliyah berulang, perlawanan dengan kekerasan sah dilakukan.Term Jihad juga menginspirasi gerakan politik GIA (Groupe Islamique Arme) di tahun 1990-an untuk melancarkan serangan terhadap pelaksana negara dan masyarakat sipil yang dianggap telah murtad (Apostate) dan kafir (infidel).
Pendek kata, representasi dua kekuatan dalam agama dalam membentuk tatanan dunia ideal selalu muncul secara bersandingan. Hal ini yang menurut Khaled Abou El-fadl sebagai moment-moment tranformasi dalam pergulatan agama sepanjang sejarah. Dalam situasi seperti ini, mayoritas-diam perlu memberanikan diri untuk menegakkan dan merebut apa yang disebut sebagai moral agama yang humanistik dari ‘tangan-tangan’ puritanisme dalam rangka berkontribusi untuk dunia yang lebih damai dan toleran. Karena kedua kelompok kekuatan ini, dalam bentuknya yang paling murni dan menyeluruh, tidak dapat dipertemukan. Dan, sekalipun sejumlah koeksistensi dimunkinkan, keduanya cendrung berbenturan dan berebut tempat.

Referensi:
-Khaled Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan,terj.Helmi Mustafa
-Mohammed M. Hafez, From marginalization to massacres; a Political Process Explanation of GIA Violence in Algeria, in Quintan Wiktorowicz, Islamic activism; A social Movement Theory (United States of America: Indiana University Press

dikutip dari makalah kelas SARK oleh mas Apifuddin Toha

Read More..
posted under | 0 Comments

Religious And Peacebuilding

Berbagai peristiwa yang sempat bergejolak di beberapa wilayah Indonesia pada akhir-akhir ini mengindikasikan telah terjadi pertentangan menyangkut berbagai kepentingan diantara berbagai kelompok masyarakat. Dalam berbagai pertentangan itu, isu SARA begitu cepat menyebar ke berbagai lapisan sehingga tercipta suasana konflik. Eskalasi pertentangan yang dilapisi baju SARA seringkali menciptakan konflik kekerasan yang lebih mencengangkan dan meresahkan. Dalam suasana seperti ini agama sering menjadi titik singgung paling sensitif dan esklusif dalam pergaulan pluralitas masyarakat.
Perjumpaan antar iman dan agama yang berbeda diruang publik seringkali menimbulkan ketegangan bahkan konflik keagamaan yang juga tidak jarang menggunakan kekerasan fisik. Konflik ini merupakan fakta kehidupan umat beragama yang timbul tenggelam dalam sejarah.
Konflik seperti ini pada mulanya bukan karena faktor agama itu sendiri, melainkan karena berbagai sebab terkait. Agama biasanya dibawa sebagai faktor legitimasi atau untuk menutupi konflik yang sesungguhnya. Pertama, krisis di berbagai bidang beberapa tahun yang lalu pada akhirnya menciptakan hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap aparat pemerintahan. Kedua, akibat arus globalisasi informasi, berkembang pula paham keagamaan yang semakin menciptakan ekslusifitas dan sensifitas kepentingan kelompok. Ketiga, kesenjangan sosial, ekonomi dan politik. Kesenjangan dalam berbagai bidang ini mempermudah para pengikut agama terseret dalam arus persaingan, pertentangan dan bahkan permusuhan antar kelompok.
Namun sayangnya, sering ditemukan penanganan konflik selalu dilakukan setelah terjadinya konflik, dan akan berhenti ketika keadaan sudah dianggap aman atau rukun. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha yang serius dan berkesinambungan agar pihak-pihak yang pernah terlibat konflik baik langsung maupun tidak langsung bisa rujuk kembali dalam damai melalui usaha-usaha peningkatan kerukunan hidup dalam kebersamaan yang hakiki. Salah satu upaya yang paling efektif adalah pembudayaan religious peacebuilding di kalangan umat beragama. Upaya pemeliharaan atau pemulihan keharmonisan hubungan sosial dan kerukunan umat beragama dipandang perlu untuk melibatkan semua komponen masyarakat secara komprehensif dan integratif.
Berbagai konflik yang terjadi menunjukkan kepada kita bahwa di negeri ini masih cukup jauh untuk bisa dikatakan damai. Dalam hubungan ini, memahami perdamaian seharusnya dipertimbangkan sebagai faktor yang menentukan untuk menciptakan dunia yang lebih nyaman. Oleh karena itu, keberadaan pendidikan perdamaian, potensi budaya sebagai sarana menuju keharmonisan hidup masyarakat dengan memaksimalkan peran negara dan masyarakat sipil untuk memelihara perdamaian yang akan dan telah dibangun.

Read More..
posted under | 0 Comments

Agama dan Kesadaran Identitas

Agama menjadi amat penting ketika ia dinilai dalam kegunaannya sebagai pembentuk identitas individu atau kelompok. Proses pembentukan identitas tersebut dilakukan melalui pengulangan cerita-cerita, simbol-simbol, ritual-ritual, pernyataan credo, teks-teks kitab suci dan praktik-praktik tradisi agama lainnya. Semua itu kemudian mendorong berkembangnya cara berfikir, berperasaan, dan berprilaku serta menciptakan tatanan kehidupan seseorang maupun kelompok. Hal-hal demikian kemudian membentuk cara seseorang untuk menata pandangannya tentang alam dan sesuatu di luar dirinya dalam sebentuk world View yang dianggap valid.
World view yang diyakini oleh masing-masing individu ini dikembangkan dan disebarkan sedimikian rupa dalam ikatan-ikatan kelompok yang pada ahkhirnya menciptakan apa yang disebut sebagai “perasaan berkelompok”.
Kerjasama, saling membagi, dan mengutamakan orang lain, dapat selalu dihubungkan dengan kesadaran beridentitas yang diberikan tradisi-tradisi agama. Pada saat yang sama, perasaan berkelompok dapat mendorong tingkah laku yang membedakan umat manusia dengan membuat garis pemisah antara kelompok-kelompok itu. Pembedaan antara mereka yang disebut “ dalam” dan ‘luar” merupakan bagian dari pembedaan peran agama dalam kesadaran manusia. Dalam situasi konflik, perbedaan-perbedaan seperti itu dipertajam. Terkadang muncul saling tuduh antara kelompok yang satu dengan lainnya sebagai kejam.
Dalam beberapa kasus, pembedaan tersebut berlaku dengan lebih ketat. Dengan kata lain, anggota yang disebut kelompok “dalam” membuat pembedaan lebih lanjut antara mereka yang sungguh-sungguh kelompok “dalam” dan mereka yang tidak. Dalam islam, ini dapat diidentifikasi melalui istilah-istilah pembedaan seperti murtad, liberal, munafik dan atau penoda agama.
Klaim tentang truth yang dipercayai oleh masing-masing tradisi agama juga berhasil mempertajam terbentuknya “perasaan berekelompok” ini. Dalam islam misalnya, terdapat adagium yang disepakati bahwa islam adalah paling benar dan paling sempurna dan atau penyempurna ajaran-ajaran samawi yang datang sebelum Islam. Sebagaimana dalam tradisi kristen terdapat ungkapan extra ecclesias nulla sallus.
Pandangan tersebut tentu berimplikasi pada sikap dan pandangan keberagamaan kelompok agama yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, nampaklah bahwa selamanya tidak ada tradisi agama pun yang secara sadar terbebas dari kecendrungan membedakan dunia komunitas manusia.
Agama memang bukan satu-satunya entitas yang dapat membentuk “Perasaan berkelompok”. Dalam ranah sosial, kebudayaan dan etnisitas juga dapat berimplikasi pada hal yang sama. Di sinilah timbul kerumitan untuk membedakan konflik-konflik kekerasan yang terjadi di masyarakat sebagai bagian dari persinggungan etnisitas ataukah agama. Namun demikian, jika agama disepakati sebagai seperangkat sistem kepercayaan (tentang realitas spiritual, moralitas dan tujuan hidup) yang senantiasa dikomunikasikan di dalam kelompok masyarakat, maka agama juga dapat dijelaskan sebagai faktor pemicu terjadinya konflik.

Referensi:
Kate Loewenthal, Religion, Culture and Mental Health, (United States of America: Cambridge University Press,2006).
David Little dan Summer B Twiss, Agama dan Akar-akar konflik, dalam Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, terj.Ahmad Suahaidy dan Elga Sarapung (Interfidei,2007).

Read More..
posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

    Translate


Recent Comments