rindu

rasakan deru nafas rinduku mengalun dengan ritme berirama melankolis dingin... seakan mati dapatkah kau hangatkanku? saat diriku membeku ditelanjangi sepi

Read More..
posted under | 0 Comments

Menulis Yuk!!

Menulis kadang terasa membosankan bagi pemula, bahkan cukup sulit bagi sebagian orang. Akan tetapi jika terus dilakukan maka kata-kata yang ada dalam pikiran kita akan mengalir begitu saja, tidak ubahnya seseorang yang sedang ‘ngobrol’ dengan sahabatnya. Sebuah tulisan merupakan ungkapan dari ide-ide yang ada dalam pikiran. Tulisan dapat dikonsumsi dalam jangka waktu lebih lama dan bisa diwariskan hingga beberapa generasi, dan itulah yang menjadi salah satu perbedaan dengan pidato. Salah satu tujuan pendidikan Kemampuan menulis merupakan salah satu dari 4 (empat) kemampuan dasar yang harus dicapai dalam tujuan pendidikan formal. Keempat kemampuan dasar itu adalah: kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan mendengarkan, dan kemampuan berbicara. Oleh sebab itu, ketika pertama kali mengikuti kelas formal maka yang dipelajari tidak terlepas dari keempat kemampuan tersebut. Namun tak jarang kita menganggap remeh kemampuan yang satu ini, karena banyak diantara kita yang menganggap tulisan merupakan media yang cukup lama menyampaikan informasi kepada yang kita tuju. Akan tetapi jika dicermati dengan baik, sesunggunya tulisan mempunyai nilai lebih tersendiri, karena ide maupun aspirasi yang tertuang dalam tulisan cukup rapi dan sistematis jika dibandingkan dengan saat kita mengungkapkannya secara oral. Pilihan orang sukses Benar sekali! Menulis merupakan pilihan bagi orang-orang yang sukses. Sosok yang cukup dikenal oleh kita Rasulullah SAW juga menyuruh kepada para sahabat untuk menulis dan menghafal apapun yang disampaikannya, sehingga tak jarang wahyu yang diturunkanpun dicatat dipelepah kurma dan batu. Sahabat Rasul yang dikenal dengan keberaniannya, Umar ra juga mengatakan “sesungguhnya ilmu itu adalah binatang buruan, maka ikatlah ia dengan tali yang sangat kokoh, yaitu TULISAN!”

Read More..
posted under | 0 Comments

Konflik, Agama dan Elit Politik

Agama manapun tidak pernah diciptakan demi kekerasan, juga tidak ada satu agama pun yang pernah mentradisikan kekerasan sebagai bagian dari ajaran sucinya. Tapi secara sosiologis, ajaran agama tidak selamanya serta-merta bisa diwujudkan karena agama tidak hanya merupakan sebuah denominasi sosial yang mampu membedakan seseorang atau kelompok lainnya; tetapi juga merupakan identitas idiologis, kultural, dan primordial. Secara sosiologis, ketika identitas kultural dan primordial telah berpadu dengan kepentingan-kepentingan praktis, maka seluhur apapun ajaran agama tetap saja tidak mampu mengendalikan keberingasan nafsu agresi dan mendominasi itu. Bukan karena ajaran agama yang buruk, melainkan lantaran orang beragama kadang-kadang secara agresif memaksakan kehendak kuasa praksisnya dengan membajak agama sebagai sumber pembenar. Terjadinya berbagai konflik yang berbuah kerusuhan dan kekerasan umat beragama di Indonesia bukan sepenuhnya disebabkan oleh sentimen agama, namun karena faktor klaim kebenaran agama yang sangat mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, sehingga kemudian agama ditarik-tarik dalam situasi konflik. Pemeluk agama yang santun berubah menjadi sangar dan kejam sehingga tidak menyadari bahwa mereka telah dijadikan alat kelompok tertentu untuk mendukung gerakannya. Masyarakat dimanfaatkan sebagai alat perjuangan politik yang bisa bekerja secara efektif. Akibatnya, agama dijadikan alat justifikasi bagi keberlangsungan konflik, sasaran bidik. Bahkan permainan elite politik. Kondisi tidak kritis dan gersang dikalangan pemeluk agama tingkat bawah ini seringkali dimanfaatkan sebagai vote getter. Untuk memuluskan tujuan-tujuannya, para politikus lokal acapkali memanfaatkan mereka sebagai ujung tombak basis massa. Sikap fanatik yang berlebihan dapat memancing emosi massa untuk digiring ke arah aksi brutal dengan tanpa menyadari akan bahaya yang menyertainya. Oleh sebab itu, usaha perelatifan keyakinan atas berbagai hasil tafsir teks ajaran agama untuk menciptakan masyarakat yang inklusif menjadi sangat mutlak. Walaupun untuk menuju ke arah itu sangat sulit, namun jika tidak dimulai dari sekarang, maka bahaya besar terkait dengan keberadaan umat beragama di indonesia akan benar-benar terjadi. Mengingat sikap elit politik Indonesia sangat menyukai keadaan kacau, sehingga mereka bisa memanfaatkanya sebagai penopang tujuan politiknya. Wallahu a'lam...

Read More..
posted under | 0 Comments

makanan khas Bima

Liburan makin dekat, wangi Bima tercium dimana-mana. Menghitung hari, melirik-lirik kalender, gelisah......long for home (katanya bule). Seminggu lagi ujian akhir semester selesai, sungguh aku tak sabar untuk pulang. Seindah apapun kota Jogja, tak mampu meredam rinduku kali ini (meskipun Februari kemarin sudah pulang). Pengen makan enak, terbayang Bandeng bakar dan sambal khas Bima.. namun ada beberapa hal yang sedikit mengobati, makan ikan asin dan sayur asem (uta kare + uta mbeca saronco), benar-benar asem! Apalagi dinikmati dengan nasi hangat.... wuihhh! Uenaknya poooolll!! jangan bilang kamu orang Bima kalo g suka menu yang satu ini!

Read More..
posted under | 1 Comments

tiwara judul na

neo na ade, hari bahagia sa'eku ede,,
sa'e ra meci ma ka bahagia kaiku sagala macam.
ade tamba kai umu,
karahoku tenggo ra cia ima,,
semoga salama di cahaya tanggal Lima (5),
mantau one ibada ade wura Ini (6),
labo arujiki ma lua di mba'ana dua ribu dua bela (2012).

selamat Ulang Tahun...
moga tahun ini dapat jodoh yang sebenarnya (bukan dia), tapi yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung.

buat K' Sheda
Happy Birthday (29)
5612

Read More..
posted under | 0 Comments

So Bad

hari ini, Dia menelponku. mengatakan bahwa semua baik-baik saja, tak ada perlu dikhawatirkan. kabar yang kau lihat di koran itu tak seluruhnya benar, tak perlu kau pikirkan, karena semua baik-baik saja...
itu pesannya,,dengan enteng dan intonasi yang sangat riang seakan tanpa beban. padahal aku tahu, tahu segala kenyataannya. pagi 26 Mei lalu, aku sampai kalang-kabut. sms yang masuk di hpku adalah pemicu gelisahku. aku meghubungi beberapa teman-temanku, menanyakan kabar tentang kampungku yang diterjang banjir bandang...
hufhphhh.... dan itu benar, banjir membawa harapanku...harapanku untuk melanjutkan study, mimpiku untuk membuat dia tersenyum lagi...
ah,,!! tulisanku semakin tidak jelas..
sejak hari itu, kepalaku tak bisa diajak kompromi. obat-obat yang membuatku mampu berdiri hampir dan benar-benar habis. komplit sudah! ini adalah tulisan paling amburadul yang pernah ku posting, keluhan-keluhan tak berguna. tapi aku tetap tak ingin menghapusnya, aneh.
aku hanya mentransfer rasa tak nyamanku saja, aku sungguh tak nyaman dengan kata-kata ini, sungguh. sejak hari itu aku ingin menulis untuk mengeluh, walaupun aku sesungguhnya tidak suka.
benar, dia bahkan tak pernah mengizinkanku untuk mengeluh, selalu menyampaikan berbagai pandangan positifnya dalam tiap peristiwa yang mengiringi kedewasaannku. aku bahkan tak bisa melanjutkan tulisan ini.. jika mengingatnya, mataku seperti awan mendung yang siap mengguyur huja, kepalaku tetap saja sakit, namun ada satu yang membuatku senang mengingatnya,,
dia selalu mengembalikan semangatku!
yeah, i will fight, untuk membuatmu tersenyum dan bangga...

bagi yang sempat membaca ini, harap maklum karena tulisan ini sangat amburadul!!! sory...

Read More..
posted under | 0 Comments

Blank

aku tak bisa menerka
apa yang terlukis di tepi barat sana,
tinggal engkau pilih
apakah itu luka atau asa...

senja-senja merah
yang menutup semua lelah,
seperti tangan halusmu
yang menghapus debu bergugur di wajah,
setelah Tuhan...
ya, setelah Tuhan...

hanya air mata yang paling memahami
luka dan asa
seperti apa rindu yang memeluk hatimu,
seperti apa pedih di hati yang tak terperi..
aku tak tahu, engkau namai apa...

kau mengajari mencintai tanpa harus melukai,
juga mengajari arti kesabaran,,
seperti kehidupan itu sendiri,,
ia tak pernah diminta...

seseorang yang kupanggil "bintang hati"


31 Mei 2012

Read More..
posted under | 1 Comments

Al-Jabiri dan Turats

Al-Jabiri terkenal sebagai tokoh filsuf pengemban semangat Averroisme dan Hermetisme. Al-Jabiri sangat mengagungkan akal sehingga ia gelisah pada fenomena sikap dan nalar Arab yang mengarah pada kecenderungan irasionalisme. Kegelisahan Al-Jabiri diawali dengan melemahnya rasionalisme dan demokrasi yang kemudian tidak dihargai bangsa Arab. Sementara kultur irasionalisme pada pihak lain semakin menyebar dan menguat yang mampu mejegal gerakan rasionalisme.
Menurut Al-Jabiri, bangsa Arab tidak kebanyakan mengakui kemampuan akal manusia, apalagi percaya pada proyek-proyek rasional dan pencarian ilmiah. Mereka lebih percaya pada produk-produk irasional dalam tradisi. Seperti yang ditunjukan dalam gerakan massif sebagian bangsa Arab yang kembali pada romantisme tradisi masa lalu (turats), berpihak pada tokoh-tookoh yang ada di dalamnya secara emosional, secara mencari-cari unsur kejayaan dan kegemilangan, seakan-akan dalam kesadaran mereka, kekalahan masa kini bisa terobati dan tertutupi oleh keagungan masa lalu.
Al-jabiri mengkritik praktik dan kegemaran membangkitkan warisan spiritual Timur, seperti tradisi tasawuf atau pemikiran filsuf Islam yang berorientasi pada spiritualisme. Selain itu muncul gerakan islamis yang berorientasi salafi sebagai counter terhadap kegagalan penguasa Arab dalam membela kepentingan bangsa Arab dalam menghadapi musuh bersama.Dengan tradisi pemikiran Prancis yang lebih maju, yaitu tradisi post-strukturalisme dan post-modenrnisme, Al-Jabiri berupaya mengkritik nalar Arab yang telah mendominasi penganutnya secara tidak sadar dengan cara merekonstruksi. Bagi Al-Jabiri, perubahan struktur nalar dengan menggantinya dengan nalar lain, tidak akan tercapai tanpa adanya sebuah praksis, yaitu praksis rasionalisme dalam persoalan pemikiran dan kehidupan terutama praksis rasionalisme kritis yang ditunjukkan terhadap tradisi yang mewarisi segenap otoritas berpikir dalam bentuk bangunan yang tidak sadar, yaitu otoritas teks, otoritas masa lalu dan otoritas qiyas.

Referensi:
Mohammad Abed Al-Jabiri, “Tradisi dan Problem Metodologi” dalam Ahmad Baso (ed) Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LkiS)
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta: UI-Press).

Read More..
posted under | 0 Comments

Dinamika dakwah di era globalisasi

Era globalisasi seakan tidak bisa dibendung lajunya memasuki setiap sudut negara dan menjadi sebuah keniscayaan pergaulan dunia. Era ini menghendaki setiap negara beserta individunya harus mampu bersaing satu sama lain baik antar negara maupun antar individu. Pengaruh yang ada dari globalisasi pada aspek kehidupan meskipun awal tujuannya diarahkan pada bidang ekonomi dan perdagangan, akan tetapi memberikan dampak multidimensi. Globalisasi telah menjadi lokomotif perubahan tata dunia dengan konsekuensi akan menarik gerbong-gerbongnya yang berisi budaya, pemikiran maupun materi.
Ketika masyarakat memasuki era globalisasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, tantangan yang dihadapi semakin rumit. Tantangan tersebut tidak mengenal ruang, batas, waktu dan lapisan masyarakat, melainkan ke seluruh sektor kehidupan termasuk agama. Artinya, kehidupan kegamaan umat manusia tidak terkecuali Islam di mana pun ia berada akan menghadapi tantangan yang sama.
Penggerak dakwah harus jeli dan peka dalam memperhatikan berbagai hal yang menunjang terlaksananya dakwah secara efektif dan efisien. Perkembangan media dakwah harus sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, para pelaku dakwah kontemporer kebanyakan memilih media yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas, seperti contohnya televisi dan radio sebagai sarana.
Dalam hal ini da’I dituntut untuk memiliki sikap yang tegas dan jelas agar dakwah tersebut diterima oleh umat dan tidak terkesan bertolak belakang dengan da’I itu sendiri. Media televisi merupakan pilihan yang sangat efektif, dan inilah yang menjadi trend saat ini. Ramainya para da’I atau ustazd yang secara rutin tampil dilayar kaca merupakan sebuah pertanda bahwa ini merupakan kemajuan dalam dunia dakwah. Namun ketika da’I atau ustad menjadi sebuah trend dan bahkan dijadikan sebagai ajang pencarian bakat, maka apakah mungkin kemurnian esensi dakwah itu masih ada?

Referensi:
- Sardar Ziauddin, 1996. Information and The Muslim World: A Strategy of Twenty-First Century,Sardar Ziauddin, 1996. Information and The Muslim World: A Strategy of Twenty-First Century
- Abdul Munir Mulkhan, Gugatan Terhadap Gerakan KeagamaanAbdul Munir Mulkhan, Gugatan Terhadap Gerakan Keagamaan (Makalah)

Read More..
posted under | 0 Comments

Sheila On 7

Sahabat Sejatiku
Hilangkah Dari Ingatanmu
Di Hari Kita Saling Berbagi
Dengan Kotak Sejuta Mimpi
Aku Datang Menghampirimu
Kuperlihatkan Semua Hartaku


Sekali lagi aku berbicara tentang lagu-lagu. Untuk urusan ini, Sheila On 7 pilihanku! Aku menyukainya sejak Sephia membumi...
lucunya lagi, ternyata teman-teman dekatku juga “penggila” So7. Hmmm...memang benar kata orang-orang bijak, bahwa seseorang itu akan memilih teman sepergaulannya yang sesuai dengan seleranya sendiri. Tapi sumpah, aku tidak tau “selera” mereka ini sebelumnya. Contohnya saja Eka, teman kuliahku dulu.. dengan ekspresi histeria dia menghampiriku yang sedang melantunkan lagu “sahabat sejatiku.” setelah ngobrol sekian lama, ternyata dia mempunyai kliping tebal tentang So7.
Gila!! aku cuma mengoleksi beberapa lagunya, tapi dia...?! semua berita tentang So7 ada disitu, wuih...kereennnn!!! dan aku pun harus mengakui bahwa “Kau fanatik banget!!!" (mungkin masih ada yg lebih gila dari dia, tapi dari sekian sahabatku, hanya dia yang 'lebih'. jika mengekor klasifikasi yang dibuat oleh Andrea Hirata, dia kena sindrome 'sakit gila nomor 14' hehe...).

tidak disangka memang,, ternyata -dan harus diakui- So7 menyatukan aku dan sahabat-sahabatku. Satu selera terhadap musik ini membuat kami cukup dekat.

Sebenarnya,,, saat aku memposting ini, kepalaku mumet dengan banyaknya tugas-tugas kuliah yang menghantuiku... hmpfh... seandainya teman-temanku ada disini, pasti dibantuin! Dan hanya So7 yang menemani, kacian banget deh gue..
tapi, kira-kira kapan ya So7 ngeluarin album baru lagi??

Kita S'lalu Berpendapat
Kita Ini Yang Terhebat
Kesombongan Di Masa Muda Yang Indah
Aku Raja Kaupun Raja
Aku Hitam Kaupun Hitam
Arti Teman Lebih Dari Sekedar Materi

Pegang Pundakku, Jangan Pernah Lepaskan
Bila Ku Mulai Lelah 
Lelah Dan Tak Bersinar
Remas Sayapku, Jangan Pernah Lepaskan
Bila Ku Ingin Terbang 
Terbang Meninggalkanmu

Ku S'lalu Membanggakanmu
Kaupun S'lalu Menyanjungku
Aku Dan Kamu Darah Abadi
Demi Bermain Bersama
Kita Duakan Segalanya
Merdeka Kita, Kita Merdeka

Pegang Pundakku, Jangan Pernah Lepaskan
Bila Ku Mulai Lelah
Lelah Dan Tak Bersinar
Remas Sayapku, Jangan Pernah Lepaskan
Bila Ku Ingin Terbang
Terbang Meninggalkanmu

Tak Pernah Kita Pikirkan 
Ujung Perjalanan Ini 
Tak Usah Kita Pikirkan
Ujung perjalanan ini 
Dan tak usah kita pikirkan
Ujung perjalanan ini

Read More..
posted under | 0 Comments

Hadapi dengan senyum

Hadapi dengan senyuman
semua yang terjadi biar terjadi
hadapi dengan tenang jiwa
semua kan baik-baik saja

bila ketetapan Tuhan
sudah ditetapkan tetaplah sudah
tak ada yang bisa merubah
dan takkan bisa berubah

relakanlah saja ini bahwa semua yang terbaik
terbaik untuk kita semua
menyerahlah untuk menang


lagu ini, sungguh sangat banyak memberikan energi positif untukku. Sudah lama, semenjak aku mengenal lagu-lagu Dewa19, aku sudah jatuh cinta pada lagu ini. Terlepas dari perkara sang Ahmad Dhani yang digosipkan termasuk dalam anggota freemasson, itu tidak penting bagiku. Aku hanya mengambil positifnya saja...

ya, bisa dikatakan setiap ada masalah aku selalu mendengarkan lagu ini untuk memicu kembali motivasiku. Memang tidak banyak yang bisa didapatkan dari lagu ini, tidak seperti orang-orang yang menerima wangsit ketika membaca/mendengarkan mantra-mantra aneh, namun lagi-lagi aku hanya mendapatkan energi positif. Setidaknya rasa percaya diriku tumbuh lagi, seenggaknya aku berani menatap dunia lagi, dan yang pasti aku bisa menerima kenyataan hidup...

mungkin jika mencermati keseluruhan lirik lagunya, bisa dikatakan lagu ini menganjurkan untuk pasrah pada keadaan. Perhatikan saja pada bait kedua “bila ketetapan Tuhan sudah ditetapkan tetaplah sudah...” dalam bahasa agama ini disebut menyerah pada takdir. Atau jika ditarik mundur lagi kebelakang pada masa perpecahan pemahaman keagamaan yang disebabkan oleh situasi politik yang tidak menentu pada masa kesenjangan Khalifah Ali Bin Abi Thalib dan sebelum umat Islam dipimpin oleh daulah bani Umayyah, paham yang menyerah pada takdir seperti ini disebut “Qadariah.” apapun yang ditetapkan oleh tuhan, maka itulah yang harus terjadi, manusia tidak berhak merubahnya.

Terlepas dari apa makna yang terkandung dalam lagu ini aku tidak peduli, yang pasti aku hanya bisa tersenyum lagi, sebab yang selalu terngiang dikepalaku adalah bait pertama dari lagu ini.
Hadapi dengan senyuman
semua yang terjadi biar terjadi
hadapi dengan tenang jiwa
semua kan baik-baik saja


Baciro, Djogdjakarta 22 April 2012

Read More..
posted under | 0 Comments

Keadilan Sosial

Keadilan menjadi syarat mutlak dalam hubungan antar manusia, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Justice pada dasarnya merupakan domain dari ilmu filsafat. Justice pada dasarnya adalah good dan well (definisi klasik). Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu, tetapi disisi yang lain masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial.
Adapun definisi politis dari justice dibagi dua yaitu recognition dan existence. Recognition lebih mengarah kepada identitas, recognition ini dipakai oleh Barat khususnya Amerika dalam membangun dasar tatanegaranya dan berpengaruh pada sistem pemerintahannya yang lebih mengarah pada sistem liberal. Kemudian existence mengedepankan benefit fullfilment, mengendepankan hak-hak kelompok daripada individu (kolektif right), hal ini diusung oleh China yang dikenal menggunakan idiologi sosialis komunis.
Menurut Jhon Rawls keadilan adalah fairness (Justice as Fairness). Ide fundamentalnya bukan klaim bahwa kontrak merupakan satu-satunya alternatif dalam membangun struktur masyarakat dan pemerintahan yang menjamin keadilan bagi segenap warganya, tetapi yang ingin dicapainya adalah konsensus mengenai prinsip-prinsip keadilan yang memberi jaminan keadilan bagi semua pihak. Cara pandang inilah yang disebut keadilan sebagai fairness.
Justice itu mengandung dua hal yaitu equity dan equality. Justice merupakan sebuah proses untuk mencapai equality, yaitu untuk mendapatkan kesempatan yang sama yaitu akses, partisipasi dan kontrol. Ketiga kesempatan ini adalah ukuran keadilan bagi agen-agen terkait, dalam hal ini yaitu; ras, etnis, agama, ekonomi, gender dan diffabelitas.
Titik tolak pembicaraan tentang keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Protes atas ketidakadilan terjadi karena orang merasa diabaikan hak-haknya. Orang senantiasa menuntut apa yang menjadi haknya. Kalau seseorang mendapatkan sesuatu sesuai dengan haknya orang merasa diperlakukan secara adil. Sebaliknya orang merasa diperlakukan dengan tidak adil kalau hak-haknya disabotase dan diperlakukan secara sewenang-wenang.
Pengabaian terhadap rasa keadilan masyarakat menjadi kenyataan lumrah dalam iklim kompetisi ekonomi dan politik negara dewasa ini. Kelompok masyarakat yang paling dikorbankan adalah kelompok yang kurang beruntung dan kaum marginal. Mereka dikorbankan karena mereka tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dan tidak mempunyai kekuatan untuk membentengi diri dan hak mereka dari penjajahan dan penjarahan penguasa yang haus harta dan tahta. Hak-hak mereka banyak diabaikan dan suara mereka tidak didengarkan. Kebutuhan dan kepentingan mereka sering tidak terakomodasi dan tidak dijamin oleh para pembuat kebijakan. Pengabaian terhadap hak-hak masyarakat kecil merupakan suatu bentuk ketidakadilan karena mereka tidak mendapatkan hak-hak mereka .
Keadilan senantiasa menjadi persoalan dalam kehidupan bersama. Ia dipersoalkan karena berhubungan erat dengan hak dan kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap orang. Orang akan secara spontan memprotes kalau hak-haknya dipangkas dan memperoleh sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya ia dapat. Sebaliknya, orang merasa diperlakukan secara adil kalau ia menerima sesuai dengan haknya.
Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan, sehingga seluruh komponen dalam masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini, keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal yang lebih besar yang didapatkan orang lain. Ketika suatu pemerintahan mengabaikan hak-hak kaum minoritas demi kesejahteraan sosial, ini berarti tidak menghormati martabat manusia tersebut dan konsekuensinya adalah merusak gagasan justice dan Eequality.
wallahu a'lam bisshowab

Read More..
posted under | 0 Comments

islam dan pembentukan negara

Dalam sejarahnya, Islam tersebar ke dunia bukan hanya melalui dakwah, tetapi juga melalui perang fisik dan ekspansi militer menghadapi berbagai negara. Pada masa Rasulullah, bentuk negaranya belum bernama. Pada masa Abu Bakar as-Shiddiq hingga Ali Bin Abi Thalib, bentuk negaranya adalah khilafah yang jelas sekali warna keislamannya. Sedangkan pada masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbsyiah, bentuk negaranya adalah kerajaan meski namanya tetap khilafah dan kesultanan tetap dipergunakan meski sudah dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil.
Kenyataan sejarah itu menjadi dasar pandangan bahwa Islam adalah agama yang juga terkait erat dengan kenegaraan. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan ketika kaum Muslim sudah berkenalan dengan Aryanisme Persia, ada ungkapan populer yang berbunyi “al-Islam din wa daulah” bahwa Islam adalah agama dan negara, suatu ungkapan yang menunjukan betapa erat hubungan antara agama dan negara. Karena sejarah Islam juga sejarah kenegaraan, maka tak heran bahwa sepanjang sejarah -dari zaman Khulafaur Rasyidin hingga Turki Utsmani dan bahkan hingga sekarang- sejarah Islam juga mencatat adanya perpecahan politik laiknya dunia politik manapun. Bahkan konflik politik pun memberi kontribusi lahirnya mazhab teologi Islam, Jabariyah dan Qadariyah misalnya. Jadi, sejak awal kehadirannya Islam selalu bersentuhan dengan masalah kenegaraan, bahkan masalah politik secara luas.
Hingga kini belum ada kesepakatan pendapat mengenai konsep politik dalam Islam, seperti konsep “Negara Islam.” Tidak adanya konsep tentang Negara Islam menimbulkan berbagai interpretasi tentang Negara Islam. Negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad di Madinah memang dipandang sebagai bentuk ideal, tetapi hal itu terbatas pada ajaran yang ideal, belum sampai kepada suatu model baku dan terperinci yang dibutuhkan dalam pendirian sebuah negara modern.
Demikian juga periode Khulafaur Rasyidin, meski lebih dekat ke sistem republik, tetapi tidak berujung pada konsep yang disepakati. Model suksesi pada masa Khulafaur Rasyidin memang sangat menarik. Abu Bakar dipilih secara aklamasi sebagai khalifah pertama. Umar Bin Khattab diangkat melalui dekrit, Utsman Bin Affan dipilih melalui gabungan antara dekrit dan musyawarah seperti demokrasi perwakilan, sedangkan Ali dipilih secara aklamasi oleh penduduk Madinah saja. Empat model suksesi ini tidak sampai tersusun sebagai konsep baku sehingga pasca Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah maupun Bani Abbasyiah tidak menggunakan sistem itu, sebaliknya malah menerapkan sistem dinasti kerajaan yang mengadopsi budaya setempat (model Imperium Romawi dan Persia) meski warna Islam juga terpampang dipermukaan.
Terlepas dari kekurangannya, periode Abbasyiah dan Umayyah dikenal sebagai berlangsungnya Daulah Islamiyah, atau Pemerintahan Islam. Periode berikutnya muncul kerajaan-kerajaan kecil yang efektif berdiri sendiri-sendiri, meski nuansa Daulah Islamiyah tetap menjadi agenda. Turki Usmani pernah pula efektif memimpin Daulah Islamiyah. Runtuhnya Turki Utsmani sebagai pemerintahan model khilafah merupakan babak awal berdirinya negeri-negeri nasional Muslim atau Daulatul Muslimin. Dalam Daulah Islamiyah, kaum muslim hanya mengenal identitas keislaman. Sedangkan dalam Daulatul Muslimin, kaum Muslim disamping mengenal identitas keislaman juga identitas kebangsaan.
Republik Indonesia merupakan wujud Daulatul Muslimin, yakni sistem pemerintahan kaum Muslim Indonesia. Secara konsepsional, UUD 1945 merupakan kompromi antara aspirasi kalangan Islam yang menghendaki identitas Islam dimunculkan dalam perundangan yang mewajibkan kaum Muslim menjalankan syariat Islam (Piagam Jakarta), dengan aspirasi kelompok nasionalis –yang notabene juga banyak memeluk Islam–yang merasa keberatan jika keberagamaannya dicampuri oleh negara. kompromi itu tertuang dalam dekrit 5 Juli yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 1945. Atas dasar itu, semangat Piagam Jakarta tidak bisa dihalangi untuk muncul dalam bentuk perundangan, seperti lahirnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf dan perundangan lainnya yang dibutuhkan.
Indonesia adalah sebuah negara bangsa (nation state), artinya tidak didasarkan pada agama tertentu sebagai ideologi politik, tapi masyarakatnya multi-religius. Namun, walaupun negara tidak didasarkan pada agama, agama menjadi sumber inspirasi dalam kontitusinya, yaitu UUD 1945. Contoh yang peling jelas adalah pasal 34 yang mengacu pada surat Al-Ma’un yang sejalan dengan nalar publik yang tercermin dalam prinsip ketiga keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Rawls.
Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa agama berperan dan berpengaruh di ruang publik. Namun, pengaruh Islam itu dibatasi oleh prinsip-prinsip kebangsaan, yaitu dengan diterimanya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara (pasal 29 ayat 1 UUD 1945), tapi di lain pihak ditolak gagasan agar negara mewajibkan pemeluknya untuk menjalankan syari’at Islam, dengan alasan bahwa jika negara mewajibkan pemeluk Islam menjalankan syari’at Islam, maka hal itu akan bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinannya.

referensi:
Abdul Aziz (Chiefdom Madinah)
Abdullahi Ahmed An-Na'im (Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Right an International Law)
Masdar Hilmy (Islam profetik; Subtansi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang Publik)

Read More..
posted under | 2 Comments

agama di ruang publik

Agama (Islam) memang berkepentingan berperan di ruang publik. Namun, peranan agama di ruang publik ada batasnya dan memang perlu dibatasi, justru untuk memelihara prinsip yang paling dibutuhkan oleh agama, yaitu kebebasan (freedom).
Persoalan tentang peran agama di ruang publik politik adalah karena dalam sejarahnya, ketiga agama monoteis, yang disebut juga agama Abrahamik itu, yaitu Yahudi, Kristen maupun Islam, bahkan juga Hindu dan Budha, dalam memelihara eksistensi dan perkembanganmya, selalu mengakses dan bahkan membentuk sendiri kekuasaan negara. Sebagaimana juga suatu masyarakat selalu berlanjut dengan pembentukan negara. Padahal dalam pengalaman, ketika lembaga kekuasaan telah terbentuk atau seseorang telah menjadi raja atau kepala negara, maka negara justru membatasi bahkan memberangus kebebasan yang dibutuhkan oleh masyarakat, bahkan menindas masyarakat atau rakyat. Demikian pula, ketika agama telah didukung oleh suatu kekuasaan, maka negara justru membatasi kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kerpercayaannya itu atau melakukan diskriminasi dan pengingkaran hak-hak minoritas.
Dalam ruang sosial bersama, Muslim (atau penganut agama lain) tidak bisa serta merta menggunakan bahasa keagamaan eksklusifnya, tetapi mesti bekerja sedikit lebih keras dengan menerjemahkan itu ke dalam bahasa yang dipahami semua, dan yang tak mengandaikan keislaman sama sekali. Keyakinan keislaman di sini menjadi efektif bukan sebagai pembeda, tapi sebagai pemberi inspirasi yang ketika diterjemahkan dengan baik oleh Muslim, maka ia menjadi sesuatu yang bisa diterima seluas mungkin, dalam bahasa Islam “menjadi rahmat bagi semuanya.”
Oleh karena itu, keterbukaan ruang publik yang saat ini akan menguatkan pemahaman bahwa toleransi dan egalitarianisme merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan ruang publik yang terbuka ini. Untuk itu, dalam mempertahankan ruang publik yang bebas dan terbuka memang diperlukan etika sosial bersama juga ditopang oleh rule of law negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan multikulturalisme.
wallahu a'lam bishawab

Read More..
posted under | 0 Comments

Peran dan Damai dalam agama-agama

Jika dilihat lebih jauh lagi, sesungguhnya agama-agama besar di dunia ini terlihat paradoks. Disatu sisi kehadiran agama dianggap membawa kedamaian dan memiliki kandungan non-violent bagi kehidupan manusia, tetapi disisi lain teks keagamaan juga “membenarkan” untuk menebar kebencian dan peperangan.
Penyebaran agama juga berhubungan dengan penggunaan kekerasan. Jika kita menelaah agama-agama besar secara rinci, kita akan menemukan jejak yang sama. Teks-teks dasar mencerminkan kekerasan upacara pengorbanan, penggunaan kekerasan untuk tujuan yang lebih tinggi, dan perlunya kekerasan dalam mempertahankan agama. Bersamaan dengan regulasi etis akan kekerasan yang tidak legitimate, semuanya ditunjukan untuk mencapai perdamaian tertinggi.
Konsep jihad dalam Islam yang pemaknaannya hingga saat ini menjadi perdebatan merupakan sebuah legitimasi oleh sebagian kelompok dalam melakukan berbagai tindakan anarkis. Dalam idiologi Kristen, adapula konsep perang suci. Perang adalah keharusan selama setan –bisa berarti dalam bentuk manusia- dan sekutunya selalu mengganggu dan menajuhkan manusia dari kasih Tuhan. Demikian juga dalam ajaran Hindu. Perang untuk menumpas kejahatan telah diperagakan oleh para dewa-dewa yang turun langsung ke bumi.
Tidak hanya konsep tentang perang yang tercantum dalam kitab suci agama-agama dunia, tetapi ada juga konsep tentang perdamaian, bagaimana menciptakan perdamaian dan menjaga perdamaian. Seperti halnya Islam mengenal konsep rahmatan lil ‘alamin, Kristen dengan ajaran kasihnya dan Hindu dengan Ahimsanya. Akan tetapi penerapan konsep-konsep perdamaian ini tergerus oleh isu-isu kekerasan bernuansa SARA, sehingga agama terlihat tidak seimbang karena hanya dapat menciptakan kekacauan saja.
Agama pada dasarnya berfungsi integrative pemersatu bagi suatu komunitas masyarakat maupun bangsa tertentu. Tetapi ia juga bersifat disintegratif pemecah belah apabila tidak dikelola oleh para elit agama dan pemeluknya secara baik dan benar. Geertz menyatakan bahwa agama sebagai sebuah symbol yang berfungsi untuk membangun perasaan dan motivasi yang penuh kekuatan, pervasive dan tanpa akhir dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep ini dengan suatu aura faktualitas sehingga perasaan dan motivasi di atas secara unik nampak realistis.
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik diantara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Pada level eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.
Konsep perang dalam beberapa kitab suci agama-agama sepakat mengatakan bahwa perang itu dilakukan ketika ada ancaman dan untuk melindungi diri (difensif). Pemaknaan kasih sayang dan persaudaraan dalam ajaran dan idiologi agama dapat diterapkan untuk membangun perdamaian dalam kehidupan ditengah masyarakat yang plural. Oleh sebab itu, diperlukan usaha yang cukup intensif dari para tokoh agama untuk mewartakan lebih serius lagi tentang kasih sayang dalam idiologi agamanya masing-masing.
Alternatif meningkatkan kasih sayang dan persaudaraan hendaknya dianggap sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan kehidupan beragama yang damai di Indonesia. Persaudaraan atas dasar satu bangsa besar, merupakan tanggung jawab sebagai warga negara yang sama, sehingga meminimalisir terjadinya konflik yang berbau SARA. Baik Muslim/Kristiani/Hindu, dan lain-lain hendaknya pro-aktif dalam meningkatkan persaudaraan. Sebab kasih sayang dan persaudaraan akan melahirkan kerukunan hidup dan kesetiakawanan social, sehingga tercapai kehidupan yang selalu diselimuti oleh damai dan kasih Tuhan, kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin, Amin.
wallahu a'lam

referensi:
Ali Ashgar Al-Engineer, (Islam Masa Kini)
Abad Badruzaman, (Membangun Keshalehan Sosial)
Wim Beuken, dkk, (Agama Sebagai Sumber Kekerasan)
Jerald F Dirks, (Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru Antara Islam, Kristen, Yahudi)
Samuel P.Huntington, (Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia).

Read More..
posted under | 0 Comments

geliat gerakan keagamaan di indonesia

Kegagalan Indonesia membangun multikulturalisme sepertinya bertanggung jawab atas meletusnya konflik komunal berdarah di pelbagai kawasan Indonesia pasca-Soeharto. Minat negara mempertahankan legitimasinya dengan mempolitiasasi simbol-simbol agama ternyata membuat agama berfungsi sekedar sebagai alat kontrol sosial. Agama tidak memainkan peran memadai dalam memupuk kohesi sosial, yang merupakan keniscayaan ketika komposisi demografik dan keagamaan terus berubah dan berbagai isu baru menghadang perjalanan masyarakat. Dalam situasi transisional dan iklim refomasi yang menghadirkan euforia ketika itu, terjadi gelombang radikalisme Islam. Berbagai kelompok vigilante jalanan muncul kepermukaan melakukan aksi-aksi kolektif dan kekerasan atas nama jihad. Melengkapi kehadiran mereka, tuntutan-tuntutan terhadap penerapan syariah bergema semakin kencang di ruang publik Indonesia dan sebagiannya mengejewantah kedalam perda-perda bernuansa syariah yang mengingkari hak-hak minoritas.
Di era reformasi, gerakan Islam radikal mulai mendapat tempat untuk berkembang. Suasana politik yang makin terbuka dan kontrol aparat negara yang makin melemah membuat kelompok radikal semakin leluasa dalam menyuarakan aspirasi dan mengekspresikan gerakannya. Mereka mulai berani menggugat keabsahan Pancasila sebagai asas tunggal, juga tuntutan untuk menggunakan ajaran Islam melalui lembaga formal juga semakin meningkat. Munculnya berbagai gerakan Islam berkonotasi radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Jamaah Ansharut Tauhid dan berbagai gerakan keagamaan bercorak lokal adalah sebuah potret merebaknya gerakan keagamaan ditengah euforia keterbukaan, demokrasi dan hak asasi manusia. Fenomena munculnya gerakan baru Islam ini juga didukung oleh menguatnya wacana penerapan syariat Islam yang dibarengi oleh kebijakan pemerintah dengan otonomi daerah masa presiden Abdurrahman Wahid. Policy ini lebih memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur pemerintahnnya sendiri.
Kebanyakan isu yang diangkat kepermukaan oleh kelompok ini adalah responnya terhadap apapun yang datang dari Barat. Isu tentang salibisme, moralitas permissiveness, demokrasi dan bahkan hak asasi manusia adalah rekayasa Barat untuk meminimalisasikan peran dan pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat. Semua ide tentang konsep tersebut dikemas dengan modernisasi dan sekularisasi. Modernisasi mempunyai anak kandung kapitalisme dan materialisme. Kapitalisme merupakan proses akumulasi modal didasarkan atas konsep individualisme yang dianggap bertentangan dengan konsep Islam tentang sistem masyarakat. Sedangkan materialisme menganggap bahwa materi adalah segalanya juga sangat bertentangan secara diametral dengan Islam. Modernisasi dengan berbagai implikasinya membuat gerah para pemimpin Islam. Menurut beberapa kelompok Islam bahwa solusi untuk mengatasi berbagai masalah kemanusiaan, politik dan kebangsaan yaitu kembali kepada ajaran Islam berdasarkan pada amalan agama para shalafush shalih dan menegakkan syariat.

referensi:
- Abdul Muqsith, Merayakan Kebebasan Beragama
- Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad
- Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam
- Afadlal, dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia

Read More..
posted under | 0 Comments

Agama dan konsep dunia yang ideal

Tidak ada satu agama pun yang tidak memiliki konsepsi tentang tatanan dunia yang ideal dan sedekat mungkin sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam pemahaman demikian, kehidupan di dalam kosmos diandaikan sebagai realitas yang suci (divine reality) yang eksistensinya perlu dijaga, diamankan dan diperjuangkan. Konsepsi mengenai tatanan ideal itu dibangun melalui pemaknaan terhadap teks suci keagamaan dan dikembangkan pada anggota kelompok masing-masing dengan dengan anggapan kesahihan yang paling valid. Pada tahap bagaimana teks itu dimaknai dan diberi kekuatan itulah persoalan mulai terjadi.
Penulis meyakini bahwa dunia agama dibangun berdasarkan peradaban teks yang lahir dari upaya interpretasi-interpretasi. Pertarungan interpretasi ini yang kemudian menimbulkan ambivalensi dalam sejarah tradisi semua agama. Apa yang penulis maksud sebagai ambivalensi adalah munculnya dua hal kontradiktif pada waktu yang relatif bersamaan. Dalam konteks sejarah agama, perjuangan mempertahankan dan mengambangkan eksistensi, menunjukkan dua wajah sekaligus; yakni moderat dan radikal, pertikaian dan pengutamaan jalan damai. Kondisi tersebut terus tereproduksi dalam bangunan memori kolektif sejarah agama hingga hari ini. Keduanya saling “berebut tempat” dalam membentuk konsepsi moral dan tatanan kehidupan yang dianggap paling absah. Hal demikian tidak hanya terjadi antar agama yang berbeda, tapi juga di dalam satu tradisi agama yang sama.
Dalam kasus kekerasan terhadap warga muslim oleh warga hindu di India sekitar tahun 2002 misalnya, dijelaskan oleh Anantanand Rambachand sebagai menodai dan menyimpang dari ajaran ideal tradisi Hindu. Meski demikian, ia juga mengakui bahwa ajaran mengenai penggunaan kekerasan memang mendapatkan tempat dalam sejarah hindusime sejak berabad-abad yang lalu.(Dalam tradisi Hindu dikenal prinsip Daiva Pravritti yang mengajarkan tentang memaafkan kesalahan orang lain, menghilangkan kemarah (anger) dan kedengkian (malice), ajaran kedamaian dan non-kekerasan, dan pada saat yang sama mengizinkan penggunaan kekerasan pada kondisi-kondisi khusus. See Oliver Mc Ternan, Violence in God’s Name; Religion in an age of conflict).
alam tradisi Hindu, penggunaan kekerasan dibolehkan dalam dalam rangka mempertahankan diri dari segala bentuk repsentasi kekuatan “setan” dan ketidakadilan. Tradisi ini dibangun di atas konsepsi bahwa Tuhan (God) akan senantiasa “hadir” untuk menyelamatkan kaum lemah dari kekuatan belenggu ‘setan’ (evil).
Dalam Budhisme, terdapat ajaran-ajaran tentang menjunjung tinggi perdamaian dan pasifism (Konsepsi bahwa jalan damai harus senantiasa dipertahankan dalam segala kondisi, apapun resikonya.ajaran ini dapat ditemukan di salah satu kitab suci budha; Brahmajala-sutra).Pemahaman ini mengandaikan perjuangan dalam mempertahankan nilai-nilai ajaran budha tidak dapat dilakukan dengan mengorbankan manusia. Karena, hanya dengan menghormati nyawa manusialah sang Budha dapat hadir kembali dalam hati setiap individu. Tidak jadi soal apakah dengan prinsip itu eksistensi agama budha harus hilang dan demokrasi tidak dapat ditegakkan. Berlawanan dengan prinsip ini, dalam tradisi Budha Mahayana terdapat ajaran bahwa perdamaian haruslah dipromosikan dengan cara menghentikan setiap ketidakadilan, penderitaan dan penindasan. Upaya mewujudkan perdamaian tersebut dapat dilakukan dengan kekerasan. Hanya saja, penggunaan kekerasan tersebut harus benar-benar menuju pada target yang benar, hati-hati dan tidak membunuh orang-orang yang tak terlibat. Beberapa kalangan menilai alasan tersebut hanyalah sebagai alat justifikasi moral untuk mensahkan kekerasan.
Dalam Islam, diantara sekian banyak konsepsi makna yang dikembangkan untuk membangun dunianya ada term jihad. Di sepanjang sejarahnya, pergulatan pemaknaan atas term jihad terus menginspirasi wacana tentang tatanan dunia ideal islam. Di satu satu sisi, Jihad dimaknai sebagai sebagai upaya memenangkan kualitas-kualitas ilahiah dalam diri manusia atas kualitas-kualitas syaithaniah. Definisi banyak dianut dan dikembangkan oleh kaum muslim moderat dan sufi. Disisi lain, jihad dimaknai sebagai upaya menegakkan kebenaran di jalan allah dan pada saat tertentu berarti pengerahan kekuatan bersenjata atas tujuan mempertahankan diri.
Dalam perjalanannya, jihad seringkali diinterpretasi dengan cakupan makna yang lebih luas sekaligus rigid. Pra syarat Kondisi dimana jihad dengan menggunakan kekerasan dalam konteks mempertahankan diri dianggap perlu dan niscaya dirasionalisasikan sedemikian rupa. Apa yang disebut masa Jahiliyah oleh sayyid Quthb misalnya, adalah sistem sekuler yang ditanamkan oleh Barat terhadap negara-negara muslim, khususnya sejak masa-masa kolonialisme pada abad 17 dan 18. Dalam konteks dimana karakteristik masa Jahiliyah berulang, perlawanan dengan kekerasan sah dilakukan.Term Jihad juga menginspirasi gerakan politik GIA (Groupe Islamique Arme) di tahun 1990-an untuk melancarkan serangan terhadap pelaksana negara dan masyarakat sipil yang dianggap telah murtad (Apostate) dan kafir (infidel).
Pendek kata, representasi dua kekuatan dalam agama dalam membentuk tatanan dunia ideal selalu muncul secara bersandingan. Hal ini yang menurut Khaled Abou El-fadl sebagai moment-moment tranformasi dalam pergulatan agama sepanjang sejarah. Dalam situasi seperti ini, mayoritas-diam perlu memberanikan diri untuk menegakkan dan merebut apa yang disebut sebagai moral agama yang humanistik dari ‘tangan-tangan’ puritanisme dalam rangka berkontribusi untuk dunia yang lebih damai dan toleran. Karena kedua kelompok kekuatan ini, dalam bentuknya yang paling murni dan menyeluruh, tidak dapat dipertemukan. Dan, sekalipun sejumlah koeksistensi dimunkinkan, keduanya cendrung berbenturan dan berebut tempat.

Referensi:
-Khaled Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan,terj.Helmi Mustafa
-Mohammed M. Hafez, From marginalization to massacres; a Political Process Explanation of GIA Violence in Algeria, in Quintan Wiktorowicz, Islamic activism; A social Movement Theory (United States of America: Indiana University Press

dikutip dari makalah kelas SARK oleh mas Apifuddin Toha

Read More..
posted under | 0 Comments

Religious And Peacebuilding

Berbagai peristiwa yang sempat bergejolak di beberapa wilayah Indonesia pada akhir-akhir ini mengindikasikan telah terjadi pertentangan menyangkut berbagai kepentingan diantara berbagai kelompok masyarakat. Dalam berbagai pertentangan itu, isu SARA begitu cepat menyebar ke berbagai lapisan sehingga tercipta suasana konflik. Eskalasi pertentangan yang dilapisi baju SARA seringkali menciptakan konflik kekerasan yang lebih mencengangkan dan meresahkan. Dalam suasana seperti ini agama sering menjadi titik singgung paling sensitif dan esklusif dalam pergaulan pluralitas masyarakat.
Perjumpaan antar iman dan agama yang berbeda diruang publik seringkali menimbulkan ketegangan bahkan konflik keagamaan yang juga tidak jarang menggunakan kekerasan fisik. Konflik ini merupakan fakta kehidupan umat beragama yang timbul tenggelam dalam sejarah.
Konflik seperti ini pada mulanya bukan karena faktor agama itu sendiri, melainkan karena berbagai sebab terkait. Agama biasanya dibawa sebagai faktor legitimasi atau untuk menutupi konflik yang sesungguhnya. Pertama, krisis di berbagai bidang beberapa tahun yang lalu pada akhirnya menciptakan hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap aparat pemerintahan. Kedua, akibat arus globalisasi informasi, berkembang pula paham keagamaan yang semakin menciptakan ekslusifitas dan sensifitas kepentingan kelompok. Ketiga, kesenjangan sosial, ekonomi dan politik. Kesenjangan dalam berbagai bidang ini mempermudah para pengikut agama terseret dalam arus persaingan, pertentangan dan bahkan permusuhan antar kelompok.
Namun sayangnya, sering ditemukan penanganan konflik selalu dilakukan setelah terjadinya konflik, dan akan berhenti ketika keadaan sudah dianggap aman atau rukun. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha yang serius dan berkesinambungan agar pihak-pihak yang pernah terlibat konflik baik langsung maupun tidak langsung bisa rujuk kembali dalam damai melalui usaha-usaha peningkatan kerukunan hidup dalam kebersamaan yang hakiki. Salah satu upaya yang paling efektif adalah pembudayaan religious peacebuilding di kalangan umat beragama. Upaya pemeliharaan atau pemulihan keharmonisan hubungan sosial dan kerukunan umat beragama dipandang perlu untuk melibatkan semua komponen masyarakat secara komprehensif dan integratif.
Berbagai konflik yang terjadi menunjukkan kepada kita bahwa di negeri ini masih cukup jauh untuk bisa dikatakan damai. Dalam hubungan ini, memahami perdamaian seharusnya dipertimbangkan sebagai faktor yang menentukan untuk menciptakan dunia yang lebih nyaman. Oleh karena itu, keberadaan pendidikan perdamaian, potensi budaya sebagai sarana menuju keharmonisan hidup masyarakat dengan memaksimalkan peran negara dan masyarakat sipil untuk memelihara perdamaian yang akan dan telah dibangun.

Read More..
posted under | 0 Comments

Agama dan Kesadaran Identitas

Agama menjadi amat penting ketika ia dinilai dalam kegunaannya sebagai pembentuk identitas individu atau kelompok. Proses pembentukan identitas tersebut dilakukan melalui pengulangan cerita-cerita, simbol-simbol, ritual-ritual, pernyataan credo, teks-teks kitab suci dan praktik-praktik tradisi agama lainnya. Semua itu kemudian mendorong berkembangnya cara berfikir, berperasaan, dan berprilaku serta menciptakan tatanan kehidupan seseorang maupun kelompok. Hal-hal demikian kemudian membentuk cara seseorang untuk menata pandangannya tentang alam dan sesuatu di luar dirinya dalam sebentuk world View yang dianggap valid.
World view yang diyakini oleh masing-masing individu ini dikembangkan dan disebarkan sedimikian rupa dalam ikatan-ikatan kelompok yang pada ahkhirnya menciptakan apa yang disebut sebagai “perasaan berkelompok”.
Kerjasama, saling membagi, dan mengutamakan orang lain, dapat selalu dihubungkan dengan kesadaran beridentitas yang diberikan tradisi-tradisi agama. Pada saat yang sama, perasaan berkelompok dapat mendorong tingkah laku yang membedakan umat manusia dengan membuat garis pemisah antara kelompok-kelompok itu. Pembedaan antara mereka yang disebut “ dalam” dan ‘luar” merupakan bagian dari pembedaan peran agama dalam kesadaran manusia. Dalam situasi konflik, perbedaan-perbedaan seperti itu dipertajam. Terkadang muncul saling tuduh antara kelompok yang satu dengan lainnya sebagai kejam.
Dalam beberapa kasus, pembedaan tersebut berlaku dengan lebih ketat. Dengan kata lain, anggota yang disebut kelompok “dalam” membuat pembedaan lebih lanjut antara mereka yang sungguh-sungguh kelompok “dalam” dan mereka yang tidak. Dalam islam, ini dapat diidentifikasi melalui istilah-istilah pembedaan seperti murtad, liberal, munafik dan atau penoda agama.
Klaim tentang truth yang dipercayai oleh masing-masing tradisi agama juga berhasil mempertajam terbentuknya “perasaan berekelompok” ini. Dalam islam misalnya, terdapat adagium yang disepakati bahwa islam adalah paling benar dan paling sempurna dan atau penyempurna ajaran-ajaran samawi yang datang sebelum Islam. Sebagaimana dalam tradisi kristen terdapat ungkapan extra ecclesias nulla sallus.
Pandangan tersebut tentu berimplikasi pada sikap dan pandangan keberagamaan kelompok agama yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, nampaklah bahwa selamanya tidak ada tradisi agama pun yang secara sadar terbebas dari kecendrungan membedakan dunia komunitas manusia.
Agama memang bukan satu-satunya entitas yang dapat membentuk “Perasaan berkelompok”. Dalam ranah sosial, kebudayaan dan etnisitas juga dapat berimplikasi pada hal yang sama. Di sinilah timbul kerumitan untuk membedakan konflik-konflik kekerasan yang terjadi di masyarakat sebagai bagian dari persinggungan etnisitas ataukah agama. Namun demikian, jika agama disepakati sebagai seperangkat sistem kepercayaan (tentang realitas spiritual, moralitas dan tujuan hidup) yang senantiasa dikomunikasikan di dalam kelompok masyarakat, maka agama juga dapat dijelaskan sebagai faktor pemicu terjadinya konflik.

Referensi:
Kate Loewenthal, Religion, Culture and Mental Health, (United States of America: Cambridge University Press,2006).
David Little dan Summer B Twiss, Agama dan Akar-akar konflik, dalam Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, terj.Ahmad Suahaidy dan Elga Sarapung (Interfidei,2007).

Read More..
posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

    Translate


Recent Comments