Agama dan Kesadaran Identitas

Agama menjadi amat penting ketika ia dinilai dalam kegunaannya sebagai pembentuk identitas individu atau kelompok. Proses pembentukan identitas tersebut dilakukan melalui pengulangan cerita-cerita, simbol-simbol, ritual-ritual, pernyataan credo, teks-teks kitab suci dan praktik-praktik tradisi agama lainnya. Semua itu kemudian mendorong berkembangnya cara berfikir, berperasaan, dan berprilaku serta menciptakan tatanan kehidupan seseorang maupun kelompok. Hal-hal demikian kemudian membentuk cara seseorang untuk menata pandangannya tentang alam dan sesuatu di luar dirinya dalam sebentuk world View yang dianggap valid.
World view yang diyakini oleh masing-masing individu ini dikembangkan dan disebarkan sedimikian rupa dalam ikatan-ikatan kelompok yang pada ahkhirnya menciptakan apa yang disebut sebagai “perasaan berkelompok”.
Kerjasama, saling membagi, dan mengutamakan orang lain, dapat selalu dihubungkan dengan kesadaran beridentitas yang diberikan tradisi-tradisi agama. Pada saat yang sama, perasaan berkelompok dapat mendorong tingkah laku yang membedakan umat manusia dengan membuat garis pemisah antara kelompok-kelompok itu. Pembedaan antara mereka yang disebut “ dalam” dan ‘luar” merupakan bagian dari pembedaan peran agama dalam kesadaran manusia. Dalam situasi konflik, perbedaan-perbedaan seperti itu dipertajam. Terkadang muncul saling tuduh antara kelompok yang satu dengan lainnya sebagai kejam.
Dalam beberapa kasus, pembedaan tersebut berlaku dengan lebih ketat. Dengan kata lain, anggota yang disebut kelompok “dalam” membuat pembedaan lebih lanjut antara mereka yang sungguh-sungguh kelompok “dalam” dan mereka yang tidak. Dalam islam, ini dapat diidentifikasi melalui istilah-istilah pembedaan seperti murtad, liberal, munafik dan atau penoda agama.
Klaim tentang truth yang dipercayai oleh masing-masing tradisi agama juga berhasil mempertajam terbentuknya “perasaan berekelompok” ini. Dalam islam misalnya, terdapat adagium yang disepakati bahwa islam adalah paling benar dan paling sempurna dan atau penyempurna ajaran-ajaran samawi yang datang sebelum Islam. Sebagaimana dalam tradisi kristen terdapat ungkapan extra ecclesias nulla sallus.
Pandangan tersebut tentu berimplikasi pada sikap dan pandangan keberagamaan kelompok agama yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, nampaklah bahwa selamanya tidak ada tradisi agama pun yang secara sadar terbebas dari kecendrungan membedakan dunia komunitas manusia.
Agama memang bukan satu-satunya entitas yang dapat membentuk “Perasaan berkelompok”. Dalam ranah sosial, kebudayaan dan etnisitas juga dapat berimplikasi pada hal yang sama. Di sinilah timbul kerumitan untuk membedakan konflik-konflik kekerasan yang terjadi di masyarakat sebagai bagian dari persinggungan etnisitas ataukah agama. Namun demikian, jika agama disepakati sebagai seperangkat sistem kepercayaan (tentang realitas spiritual, moralitas dan tujuan hidup) yang senantiasa dikomunikasikan di dalam kelompok masyarakat, maka agama juga dapat dijelaskan sebagai faktor pemicu terjadinya konflik.

Referensi:
Kate Loewenthal, Religion, Culture and Mental Health, (United States of America: Cambridge University Press,2006).
David Little dan Summer B Twiss, Agama dan Akar-akar konflik, dalam Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, terj.Ahmad Suahaidy dan Elga Sarapung (Interfidei,2007).

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa tinggalkan komentar ya...trims

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

    Translate


Recent Comments