islam dan pembentukan negara

Dalam sejarahnya, Islam tersebar ke dunia bukan hanya melalui dakwah, tetapi juga melalui perang fisik dan ekspansi militer menghadapi berbagai negara. Pada masa Rasulullah, bentuk negaranya belum bernama. Pada masa Abu Bakar as-Shiddiq hingga Ali Bin Abi Thalib, bentuk negaranya adalah khilafah yang jelas sekali warna keislamannya. Sedangkan pada masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbsyiah, bentuk negaranya adalah kerajaan meski namanya tetap khilafah dan kesultanan tetap dipergunakan meski sudah dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil.
Kenyataan sejarah itu menjadi dasar pandangan bahwa Islam adalah agama yang juga terkait erat dengan kenegaraan. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan ketika kaum Muslim sudah berkenalan dengan Aryanisme Persia, ada ungkapan populer yang berbunyi “al-Islam din wa daulah” bahwa Islam adalah agama dan negara, suatu ungkapan yang menunjukan betapa erat hubungan antara agama dan negara. Karena sejarah Islam juga sejarah kenegaraan, maka tak heran bahwa sepanjang sejarah -dari zaman Khulafaur Rasyidin hingga Turki Utsmani dan bahkan hingga sekarang- sejarah Islam juga mencatat adanya perpecahan politik laiknya dunia politik manapun. Bahkan konflik politik pun memberi kontribusi lahirnya mazhab teologi Islam, Jabariyah dan Qadariyah misalnya. Jadi, sejak awal kehadirannya Islam selalu bersentuhan dengan masalah kenegaraan, bahkan masalah politik secara luas.
Hingga kini belum ada kesepakatan pendapat mengenai konsep politik dalam Islam, seperti konsep “Negara Islam.” Tidak adanya konsep tentang Negara Islam menimbulkan berbagai interpretasi tentang Negara Islam. Negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad di Madinah memang dipandang sebagai bentuk ideal, tetapi hal itu terbatas pada ajaran yang ideal, belum sampai kepada suatu model baku dan terperinci yang dibutuhkan dalam pendirian sebuah negara modern.
Demikian juga periode Khulafaur Rasyidin, meski lebih dekat ke sistem republik, tetapi tidak berujung pada konsep yang disepakati. Model suksesi pada masa Khulafaur Rasyidin memang sangat menarik. Abu Bakar dipilih secara aklamasi sebagai khalifah pertama. Umar Bin Khattab diangkat melalui dekrit, Utsman Bin Affan dipilih melalui gabungan antara dekrit dan musyawarah seperti demokrasi perwakilan, sedangkan Ali dipilih secara aklamasi oleh penduduk Madinah saja. Empat model suksesi ini tidak sampai tersusun sebagai konsep baku sehingga pasca Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah maupun Bani Abbasyiah tidak menggunakan sistem itu, sebaliknya malah menerapkan sistem dinasti kerajaan yang mengadopsi budaya setempat (model Imperium Romawi dan Persia) meski warna Islam juga terpampang dipermukaan.
Terlepas dari kekurangannya, periode Abbasyiah dan Umayyah dikenal sebagai berlangsungnya Daulah Islamiyah, atau Pemerintahan Islam. Periode berikutnya muncul kerajaan-kerajaan kecil yang efektif berdiri sendiri-sendiri, meski nuansa Daulah Islamiyah tetap menjadi agenda. Turki Usmani pernah pula efektif memimpin Daulah Islamiyah. Runtuhnya Turki Utsmani sebagai pemerintahan model khilafah merupakan babak awal berdirinya negeri-negeri nasional Muslim atau Daulatul Muslimin. Dalam Daulah Islamiyah, kaum muslim hanya mengenal identitas keislaman. Sedangkan dalam Daulatul Muslimin, kaum Muslim disamping mengenal identitas keislaman juga identitas kebangsaan.
Republik Indonesia merupakan wujud Daulatul Muslimin, yakni sistem pemerintahan kaum Muslim Indonesia. Secara konsepsional, UUD 1945 merupakan kompromi antara aspirasi kalangan Islam yang menghendaki identitas Islam dimunculkan dalam perundangan yang mewajibkan kaum Muslim menjalankan syariat Islam (Piagam Jakarta), dengan aspirasi kelompok nasionalis –yang notabene juga banyak memeluk Islam–yang merasa keberatan jika keberagamaannya dicampuri oleh negara. kompromi itu tertuang dalam dekrit 5 Juli yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 1945. Atas dasar itu, semangat Piagam Jakarta tidak bisa dihalangi untuk muncul dalam bentuk perundangan, seperti lahirnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf dan perundangan lainnya yang dibutuhkan.
Indonesia adalah sebuah negara bangsa (nation state), artinya tidak didasarkan pada agama tertentu sebagai ideologi politik, tapi masyarakatnya multi-religius. Namun, walaupun negara tidak didasarkan pada agama, agama menjadi sumber inspirasi dalam kontitusinya, yaitu UUD 1945. Contoh yang peling jelas adalah pasal 34 yang mengacu pada surat Al-Ma’un yang sejalan dengan nalar publik yang tercermin dalam prinsip ketiga keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Rawls.
Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa agama berperan dan berpengaruh di ruang publik. Namun, pengaruh Islam itu dibatasi oleh prinsip-prinsip kebangsaan, yaitu dengan diterimanya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara (pasal 29 ayat 1 UUD 1945), tapi di lain pihak ditolak gagasan agar negara mewajibkan pemeluknya untuk menjalankan syari’at Islam, dengan alasan bahwa jika negara mewajibkan pemeluk Islam menjalankan syari’at Islam, maka hal itu akan bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinannya.

referensi:
Abdul Aziz (Chiefdom Madinah)
Abdullahi Ahmed An-Na'im (Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Right an International Law)
Masdar Hilmy (Islam profetik; Subtansi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang Publik)

posted under |

2 komentar:

pulsa murah yogyakarta mengatakan...

Assalamu 'alaikum, ijin berkunjung ya. salam kenal

SUARA MANDIRI mengatakan...

Tulisannya uda bagus, runutannya juga sudah terarah.., mungkin kalau bisa ditambah,tolong fokus tulisannya dipertajam lagi. sehingga pembaca juga paham, pesan apa yang ingin kita sampaikan..

Posting Komentar

jangan lupa tinggalkan komentar ya...trims

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

    Translate


Recent Comments