TUHAN, AGAMA DAN MANUSIA: Kontestasi Iman dan Agama dalam Ruang Publik (1)

Agama adalah kenyataan terdekat sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat, karena ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari, baik di rumah, kantor, media, pasar, dan di mana saja. Begitu misterius, karena ia sering tampil dengan wajah yang sering tampak berlawanan: memotivasi kekerasan tanpa belas kasihan, atau pengabdian tanpa batas; mengilhami pencarian ilmu yang tertinggi, atau menyuburkan takhayul dan superstisi; menciptakan gerakan paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani yang paling personal; memekikkan perang paling keji, atau menebarkan kedamaian paling hakiki.”
Beberapa dekade lalu, wacana seputar agama pernah diperdebatkan dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Kebanyakan pemikir modern melihat, pada kenyataanya agama merupakan sekumpulan doktrin yang dilegitimasi oleh “prasangka-prasangka” manusia di luar rasionalitas. Sementara, ilmu pengetahuan yang nota bene mengedepankan rasionalitas sangat keras menolak doktrin. Dikotomi ini pada perkembangan selanjutnya juga berimpilkasi pada pemahaman bahwa masyarakat yang telah memasuki gerbang rasionalitas akan berkurang keyakinannya terhadap agama, terutama agama formal yang terinstitusi (institutionalized religion).
Muncul berbagai persepsi bahwa semakin rasional seseorang, semakin menjauh dia dari ritual agama. Sebaliknya, manusia yang kurang tersentuh rasionalitas, dengan sendirinya akan kuat menyakini ajaran agama. Fakta sosiologis banyak mendukung pemahaman demikian. Dalam masyarakat postmodern –seperti di negara-negara Eropa dan Amerika– banyak orang yang tidak lagi mengindahkan agama. Sementara itu, di banyak negara berkembang yang transformasi ilmu pengetahuannya masih lamban, masyarakatnya masih sangat kuat meyakini ajaran agamanya. Namun kenyataan tersebut hanya ada persepsi sosiologis. Di luar itu, ada sejumlah fenomena yang tidak sepenuhnya berada dalam persepsi demikian. 
Diskursus tentang Tuhan, agama dan manusia merupakan perdebatan teologis filosofis yang tidak kunjung usai. Sebab fenomena ini selalu menarik untuk dianalisis dengan berbagai pendekatan. Dalam uraian ini penulis akan membahas tentang konsepsi Tuhan, agama dan keberagamaan manusia serta kontestasi agama dalam ruang publik. 
Tuhan di Langit dan Tuhan di Bumi 
Dilihat dari kacamata sosial, agama merupakan fenomena sosial. Agama juga tak hanya ritual, menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya belaka, tapi juga fenomena di luar kategori pengetahuan akademis. sebagian manusia mempercayai agama, namun tidak pernah melakukan ritual. Yang lain mengaku tidak beragama, namun percaya sepenuhnya terhadap Tuhannya. Di satu sisi, kita sering menyaksikan, dalam kondisi tertentu –seperti kesulitan hidup atau tertimpa musibah– manusia cenderung berlari kepada agama. 
 Di sisi lain, pada saat dirinya hidup dalam kondisi normal, mereka seringkali tidak peduli terhadap agama, bahkan mengingkari eksistensi Tuhannya. Oleh sebab itu, tidak salah jika muncul pernyataan bahwa sesungguhnya Tuhan dipaksa turun dari langit menuju Bumi oleh manusia sebagai tempat pelarian kala dunia mencurangi kehidupan manusia. Tuhan mulai memiliki sejarah tersendiri dalam alam empiris ketika manusia mulai memikirkan tentang eksistensi Tuhan. 
Menurut Karen Amstrong, Tuhan dalam perjalanan sejarah umat mesti dibaca dengan memperhatikan konsepsi-konsepsi yang dinisbatkan manusia pada diri-Nya. Konsepsi-konsepsi ini tidak lain adalah upaya manusia dalam memahami sosok yang serba misterius ini. Armstrong sendiri melacak melalui garis historis tradisi keagamaan ibrahimistik yang bercorak monotheistik. Dalam uraiannya Armstrong berbicara perihal perkembangan konsep mengenai Tuhan dalam tradisi Yahudi, Kristen dan Islam. Dalam pandangan Amstrong, Tuhan yang selama ini digambarkan sebagai sosok personal sudah tidak relevan lagi. Tuhan yang meski dijelaskan melalui logika nalar manusia. Yang mungkin dan jauh lebih relevan adalah ketika Tuhan dalam konteks dunia yang semakin absurd ini dipandang sebagi Tuhan yang mistycal. Tuhan yang tidak lagi dipandang sebagi sesuatu wujud yang lain, yang mesti ditundukan pada dalil-dalil rasionalitas. Namun, Ia adalah wujud yang subyektif yang hadir melalui imajinasi, penuh dengan misteri dan tak terlukiskan. 
Namun, tengah terjadi sebuah perubahan besar yang melanda dunia Barat, khususnya Amerika Utara, yakni mulai muncul “kemuakan” terhadap insitusi agama formal, yang justru bergeliat adalah gelombang spiritual yang enggan diidentikan dengan formalitas agama tertentu. Slogan yang mengawal fenomena ini adalah spirituality yes, organized religion no! Kelompok yang larut dalam gelombang spiritualitas sini biasa disebut sebagai the new age. Salah satu landasan yang di pegang oleh para new ager (penganut new age) adalah kesadaran akan ultimate reality sebagai satu-satunya realitas yang eksis. Agama-agama, yang selama ini menjadi salah satu tembok demarkasi terkuat, tak lain hanyalah sebuah jalan-jalan menuju kepada ultimate reality. 
Disinilah Tuhan tak lagi dipahami sebagai sesuatu yang eksklusif yang hanya dimonopoli oleh jalur agama formal. Tuhan diwujudkan sebagai sosok esoteris yang tidak terbatas pada jubah formalitas agama. Tuhan dalam pandangan para new ager merupakan sosok cair yang terbuka bagi siapa pun. Misteri terdalam yang tak lekang dan terjamah oleh nalar kerdil manusia, yang hidup secara nyata dalam pengalaman-pengalaman spiritual individual.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa tinggalkan komentar ya...trims

Posting Lama Beranda

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

    Translate


Recent Comments